Entri Populer

Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

ULET DALAM PERJUANGAN
SOPAN DALAM KEMENANGAN
SYUKUR DALAM PENGISIAN

LAMBANG

LAMBANG

Senin, 23 April 2012

Keajaiban cinta tanah air

Keajaiban Hubbul Wathon Minal Iman
Dalam buku “Intan tertabur” susunan Jalaluddin Syayuti Mesir, terkutib sabda Rosulu-lloh SAW tentang “Hubbul Wahon Minal Iman”. Lalu seorang tokoh mengomentari “maknanya shoheh dan ajaib”.
Terinspirasi oleh hadist tersebut kemudia kami merenungkan betapa tanah air Indonesia memang betul “Cinta Tanah Air Bagian Dari Iman” sungguh menakjubkan.
Di Indonesia ini ada sebuah danau maknawi maul hayat yang airnya kilau-kemilau sejuk, hidup menghidupkan dan di dalamnya mengandung permata maknawi bagai zamrut, berlian yang tak ternilai harganya. Jika “diminum dan untuk mandi” jiwa-jiwa bangsa ini maka saya yakin Indonesia akan menjadi bangsa yang “hidup segar dan sehat”. Danau maul hayat itu ber-sumber dari seluruh tokoh terbaik Indonesia dengan berbagai agama dan aliran yang berjiwa “Cinta Tanah Air Bagian Dari Iman”.
Wujud danau itu adalah pembukaan UUD 45. Sehelai kertas itu mengan-dung makna seperti lautan tak bertepi, ada permata keimanan, permata Berkat, Rohmat, akhlaq, aqidah, dan cita-cita luhur yang nilainya lebih baik dari 350 tahun ; “saat yang berbahagia dengan selamat sentausa”.
Tetapi sayang danau itu kini telah tertimbun oleh ”lumpur” sifat-sifat yang bertentangan dengan perikema-nusiaan dan perikeadilan. Hal ini sudah diamanatkan oleh pendiri negara bahwa itulah hakekat penja-jahan. Karenanya kini danau itu harus kita bersihkan, sebab jika tidak, semuanya akan macet. “Maka penja-jahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan”.

Jalan mencapai Negara Adil Makmur


Kitab Alquran, kitab Weda, kitab Tripitaka, Bibel, dan seluruh undang-undang di dunia ini tidak memiliki tangan dan kaki. Artinya aturan itu tidak bisa berbuat sendiri, tidak bisa berjalan sendiri, dan manusialah yang harus menjalankannya. Jika tidak ada yang menjalankannya maka hilanglah manfaatnya.
Jika danau maknawi itu ”diminum” melalui pendidikan dan masuk dalam jiwa bangsa, saya yakin Indonesia akan selamat. Karena disitu (danau maknawi) sistemnya persis sistem syukur, dan sistem syukur persis sudah diatur dalam UUD '45.
Adapun syukur adalah jalan menca-pai “Baldatun thoyyibatun.” bersyu-kurlah kamu, negara akan menjadi negara thoyyibah.
Hakekat syukur adalah mengamal-kan tiga buah titik yang ada di dalam huruf “syin”. Titik Pertama, ”lmun.” Artinya mengetahui sumber nikmat, mengetahui wujudnya nikmat, dan mengetahui untuk apa nikmat di berikan.
Titik Kedua, “Farhun”: Artinya gem-bira karena mengetahui sumber nikmat yakni Alloh, gembira karena menge-tahui wujud nikmat, dan gembira karena mengetahui tujuan nikmat itu di berikan.
Sedang titik ketiga adalah “Amalun”. Maksudnya mengelola nikmat menu-rut ridho Alloh Ta'ala.
Di antara nikmat besar yang telah diterima bangsa Indonesia adalah nikmat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI tidak akan ada jika tidak ada kemerde-kaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pun kemerdekaan tidak akan mungkin diperoleh jika tidak ada pertolongan Alloh - “Atas Berkat Rohmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan di dorongkan oleh keinginan luhur maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.
Sebab, apa mungkin keadaan com-pang-camping saat itu mampu meng-hadapi raksasa putih (penajajah Belan-da) dan raksasa kuning (penjajah Jepang). Mustahil menurut perhitu-ngan akal, tapi kenyataannya kemer-dekaan terjadi. Oleh sebab itu penda-hulu negeri ini menyadari tanpa pertolongan Alloh tak mungkin Indo-nesia bisa merdeka.
Peristiwa ajaib lain yang sangat menakjubkan dan bersumber dari jiwa Cinta Tanah Air Bagian Dari Iman juga terjadi di sebuah gedung no 106 gg Kenari jalan Kramat Raya tahun 1928 di bulan 10 pada tanggal 1928. Peristiwa itu adalah Sumpah Pemuda dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Di rumah no 106 (1 di tambah 6 = tujuh) ini menimbulkan 7 keajaiban. Keajaiban ini antara lain ajaibnya nama, ajaibnya penyaksian, ajaibnya para pelakunya, ajaib obyeknya, ajaib kebenaannya, ajaib latar belakangnya, dan ajaib latar mukanya.
Tentang ”ajaibnya penyaksian”. Saat waktu itu putra-putri Indonesia ber-ikrar tentang ”satu nusa” yang disak-sikan oleh tahun 19 (1+ 9 = 10). Angka sepuluh jika dijumlah sama dengan satu (1 + 0 = 1 ), berati ”satu nusa”. Kemudian ikrar ”satu bangsa”, disak-sikan oleh tahun 28 (2 + 8 = 10). Jum-lah sepuluh sama dengan ”satu bang-sa”. Lalu ikrar ”satu bahasa”, disak-saikan oleh bulan 10. Angka sepuluh disini berarti ”satu bahasa”.
Jadi ikrar ”satu nusa, satu bangsa , dan satu bahasa”pada tanggal 28 itu sebagai penyaksian satunya negara Republik Indonesia yang ”disingkat” pada nama Gang tempat pelaksanaan acara yakni ”Kenari ; Kesatuan Negara Republik Indonesia”. Sedang jalan Kramat Raya Kramat berarti ”menuju kemulyaan yang besar”.
Padahal waktu itu para pemuda yang berikrar usianya sekitar 20-25 tahun, tapi mereka memiliki kebe-ranian luar biasa. Keberanian lintas suku, berani lintas agama, dan berani mendobrak berhala imperialisme.
Dan berselang 17 tahun kemudian kemer-dekaan bangsa Indonesia tercapai. Jadi ada benang halus antara Sumpah Pemuda dan Sumpah Palapa.

Peringatan yang keliru

Pada tanggal 17 Agustus saya pergi ke Jakarta. Waktu saya ke masjid Istiqlal disitu tertulis “Dirgahayu Kemerdekaan RI”. Begitu pula saat ke Taman Mini, dari Surabaya hingga Jakarta semua tertulis sama “Dirga-hayu Kemerdekaan RI”. Lantas jika dipikir, apakah yang dijajah selama 350 tahun itu Republik Indonseia ataukah bangsa Indonesia?
Didalam teks proklamasi tertulis “Kami bangsa Indonesia” bukan ”Kami Republik Indonesia. Juga tertulis ”Atas nama bangsa Indonesia” bukan ”atas nama Republik Indonesia”. Juga tertulis ”Sukarno Hatta” bukan ”Presi-den Sukarno”.
Demikian juga dalam pembukaan ”Bahwa Kemerdekaan itu hak segala bangsa” bukan ”hak Republik Indo-nesia”. Tapi mengapa kemudian yang ditemui adalah tulisan ”Kemerdekaan RI”?.
Begitu pula seandainya pada tanggal 17 Agustus Negara Republik Indonesia sudah berdiri, berdiri di atas dasar apa? Jika didirikan atas dasar Pancasila, nyatanya saat itu Pancasila belum menjadi dasar negara. Sebab saat itu sila ”Ketuhanan” masih koma yakni ”Ketuhanan, dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pelemuknya. Jadi belum final.
Baru pada 18 Agustus menjelang sidang PPKI, dr. Hatta, KH Wahid Hasyid, Kihadi Kusumo. Mr Hasan, Kasman Singodimedjo melakukan rapat kilat mengenai 7 kalimat pada sila kesatu Pancasila. Agar dapat menjadi kalimat titik temu, maka digantilah dengan tiga kalimat “Yang Maha Esa”. Ini baru final !
Apalagi kalimat ”dengan menja-lankan syariat Islam bagi pemeluk-2 nya” nantinya dapat berarti yang mewajibkan, zakat, puasa, haji adalah negara, bukan Alloh swt. Apa hal ini nggak syirik?
Alhamdulillah, dengan rohmat besar ini selamatlah negeri ini dari perpecahan. ”Ketuhanan Yang Maha Esa” itulah kalimat titik temu bagi seluruh agama yang ada di Indonesia.
Kalimat titik temu itu juga sudah diterangkan dalan Al qur'an, “Ya ahli kitabi ta'alau sawain baina wabai-nahum” - “Wahai ahli kitab marilah kita pada satu kalimat yang sama titik temu”.
Alhamdulillah di Indonesia ini ada kalimat titik temu, sehingga ketuhanan itu menjadi dasar negara yang paling utama.Seperti juga tercantum di bab 11 pasal 29 ayat no 1.” Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi di Indonesia ini bukan rakyatnya saja yang berketuhanan tapi negaranya berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Satu-satunya negara di dunia yang meng-gunakannya hanya Indonesa. Karena-nya kita harus bersyukur kepada Alloh, syukur kepada penda-hulu kita.
Rosululloh bersabda “Man Lam Yaskurinnas Lam Yaskurilah” - ”Bara-ng siapa tidak syukur kepada sesama manusia tidak syukur kepada Allah”. Seandainya tiga kalimat diatas tidak diganti mungkin Indonesia akan terpecah. Walaupun akhir-akhir ini nampak ada usaha untuk mengem-balikan ”Ketuhanan yang dikoma” lagi. Jadi perlu dipikir sungguh-sungguh tentang hal yang sudah final ini.
Yang penting sekarang akar-akar identitas jati diri diperkuat. Sehingga meski terjadi globalisasi, asal akarnya kuat maka tidak akan terlibas. Sebalik-nya kalau akar identitas Indo-nesia ini tidak diperkuat maka bebe-rapa puluh tahun lagi Indonesia tinggal nama, terlibas oleh globalisasi. Ini yang kami kawatirkan
Diringkas dari : Sambutan Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah pada acara
Pembukaan Seminar Cinta Tanah Air 1-2 Agustus 2007 di ISLAMIC CENTER Surabay
a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar