Entri Populer

Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

ULET DALAM PERJUANGAN
SOPAN DALAM KEMENANGAN
SYUKUR DALAM PENGISIAN

LAMBANG

LAMBANG

Jumat, 28 Juni 2013


ADAB BERDZIKIR Untuk melaksanakan dzikir didalam thoriqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al Mafakhir Al-’Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada pasal Adabuddz-Dzikr, sebagaiman dituturkan oleh Asy-Sya’roni bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima)adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas)adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan seelah selesai berdzikir. Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah; 1… Mandi dan atau wudlu. 2… Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan. 3… Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah. 4… Menyaksikan/terhubung dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya. 5… Meyakini bahwa dzikir thoriqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari Beliau. Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah; 1… Duduk di tempat yang suci seperti duduknya didalam shalat.. 2… Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya 3… Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya. 4… Memakai pakaian yang halal dan suci. 5… Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan. 6… Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena dengan tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati / bathin. 7… Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thoriqoh merupakan adab yang sangat penting 8… Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang). 9… Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat Ash-Shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan ) kepada syaikhnya.Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah). 10.. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar’i lainnya. 11.. Menghadirkan makna dzikir didalam hatinya. 12.. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata “illallah” terhujam didalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh. Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah; 1… Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thoriqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadloh dan mujahadah tiga puluh tahun. 2… Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini (menurut ulama thoriqoh) lebih cepat menyinarkan bashiroh, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan. 3… Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/ Allah SWT yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut. 4… Para guru mursyid berkata:”Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.”Wallahu a’lam. Keterangan 1… Himmah para syaikh /guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT. 2… Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thoriqoh yang satu dengan yang lainnya, bahkan antara satu mursyid dengan yang lainnya dalam satu aliran.Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk di dalam shalat (tawarruk atau iftirasy), ada yang tawarruk di balik artinya kaki kanan yang di masukkan di bawah lutut kaki kiri, ada yang dengan muroba’ (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat di bai’at oleh mursyidnya. Oleh karena ittu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru musyidnya masing- masing. 3… Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim di sebut “rabithah” atau “tashawwur” bagi seorang murid thoriqoh. Hal tersebut lebih berfaidah dan lebih mengena dari pada dzikirnya itu.Karena syaikh adalah washilah /perantara untuk wushul kehadirat sang maha haq ‘azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah- anugerah dalam batiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/ lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu ia akan sampai pada fana’/ lebur pada Allah Swt.Wallahu a’lam. 4… Yang dimaksud dengan waridudz dzikir segala sesuatu yang datang atau muncul didalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir. MENCINTAI LAA ILAAHA ILLALLOH Yang dinamakan hamba oleh Alloh adalah Muhammad, karena Muhammad itulah yg mempunyai : Tubuh – Hati – Nyawa – Rahasia. Muhammad itu hamba? Artinya ilmunya yg membawa wasilah ( talqin dzikir ) yaitu yg berupa Rahasia Alloh yg tertanam di qolbu. Karena Alloh itu nama bagi zat yg wajibul wujud dan mutlak, yaitu bathin Muhammad dan Dzohir Muhammad. Jadi jelaslah Yg bernama Muhammad itu apa menurut Alloh dan yg bernama Alloh ta'ala itu apa, menurut Muhammad….Supaya benar-benar bisa menjadi tauhid pada kalimat LAA ILAAHA ILLALLOH, maka kalimat yg Agung ini adalah pertemuan antara hamba dg Tuhannya. Kenapa ketika kita berdzikir hati ini tidak merasakan suatu kegembiraan, kadang males dan lain-lainnya padahal kalimat itu adalah alat pertemuaan antara hamba dg Tuhannya…Ini disebabkan karena kita tidak mencintai LAA ILAAHA ILLALLOH? kalimat ini masih kalah dg lagu wali band atau unggu band. Ketika lagu ini diputar…bisa membikin kita terhanyut dan terbawa oleh perasaan yg sangat mengasyikkan… Itulah mengapa ketika kita berdzikir hati ini belum merasakan rasa nikmat… Marilah mulai sekarang kita belajar mencintai dzikir, seperti ketika kita mendengarkan lagu kesukaan kita sehingga bisa terbawa kedalam rasa MENGUASAI ANGAN-ANGAN 1. Angan-Angan yg berkecendrungan ke nafsu syahwat adalah bayangan dari hakikat rasa, apabila dapat dikuasainya maka akan menjadi dasar kekuatan akan keindahan, sehingga ketika orang yg sedang berdzikir, kadang-kadang ia merasakan suatu kenikmatan yg tidak dapat diungkapkan dg kata-kata. 2. Angan2 yg berkecendrungan serakah, tamak, mau menang sendiri, malas dan lain-lainnya. Apabila angan-angan ini dapat dikuasai ia akan menjadi sebuah dasar kekuatan, tandanya ia akan mencintai dzikir walaupun ia belum tau hakikat yg ia cintai. 3. Angan2 yg berada didarah, yg wataknya beringasan, amarah, tidak sabaran dan gelap mata. Jika ia dapat dikuasai maka ia akan menjadi sebuah kemauan dan ketekunan dalam berdzikir, tandanya ia akan mengutamakan dzikir dari pada amalan-amalan lainnya. 4. Angan-angan yg berada ditulang sum-sum ia akan menghasilkan kekuatan kehendak yg menyebabkan keinginan-keinginan atau cita2. Dan ini merupakan sarana Karsa Alloh akan menjadi negatif bila tidak dikendalikan dg dzikir. Jika is dapat dikuasai, tandanya ketika seorang sedang berdzikir, timbul suatu hasrat keinginan yg ingin berlama-lama didalam berdzikir ( ingin nambah terus dzikirnya ) RASA TALI RASA Manusia memiliki alat yang kasar dan yang halus. Yang halus tidak dapat dilihat oleh panca indra mata tetapi sangat lengket diantara keduanya, sehingga dapat menyebabkan panca indra bisa bekerja masing-masing dan inilah yang disebut dg Tali Rasa ( Syaraf Bathin ) Tali rasa bisa bekerja jika disalurkan kepada indra jasmani. Kerjanya tali rasa ini selalu memberi peringatan kepada roh jasmani, sehingga diterima oleh kita didalam buah pikiran tetapi sangat lemah dan seakan-akan itu tak berguna, lalu tidak diperhatikannya dan ini karena disebabkan banyak dipengaruh oleh akal pikirannya. Saya contohkan ketika seorang sudah selesai sholat dan dzikir, tiba-tiba sekilas ada buah pikiran didalam qolbunya disuruh untuk kautsar-an. Dan bagi seorang yang awas hatinya ia akan segera melaksanakannya, karena ia tahu siapa yang telah memperintahkannya lewat pesan diqolbunya tiada lain adalah Guru Agung (mursyid) yg memberi sinyal-sinyal pesan pd Muridnya. Tali rasa inilah yang bisa mengingat segala kejadian yg dikerjakan oleh pikiran dan panca indra lainnya. Tali Rasa ini bisa berdiri sendiri tanpa hambatan dan juga rintangan walaupun tanpa dialiri di syaraf atau darah keotak. Ia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata jasmani. Tali rasa ini kerjanya menyimpan (Rekaman) dan mengetahui semua keadaan baik diluar maupun didalam. Ketika orang terserang kantuk adalah tanda tali Rasa mulai terputus. Dengan tanda putusnya Tali Rasa ini ia akan tertidur lelap, Orang yang tidur ada yang bermimpi dan ada juga yang tidak. Orang yang bermimpi disebabkan buah efek dari waktu mata jasmani ini terbuka dan secara otomatis merekam semua apa-apa yang dilihat karena banyaknya angan-angan atau khayalan yang tersimpan dan belum direstart dengan Mujahadah, maka terjadilah seorang yang bermimpi buruk, sedih, senang bukan bermimpi yang mengandung hikmah. Contohnya Tustel film ketika diarahkan suatu benda atau objek dan disimpan difilm secara otomatis ia akan berpindah kedalam film, itulah angan-angan atau khyalan yang tertinggal di dalam Tali rasa karena tidak direstart dengan Mujahadah. RASA Rasa adalah anugerah Yang Maha Agung dari Guru Agung, beliaulah pemilik Rasa itu (Mursyid), Rasa yang mendorong manusia kedalam keadaan yang sesungguhnya dari tiada ke ada, dari sifat ADAM (tiada) kesifat Nur Muhammad (Mursyid), beliaulah (Mursyid) yang membolak balikan rasa ruhaniyah muridnya menuju nur muhammad yang hakiki. ROHMAN ROHIMULLOH yg terpancar dalam pantulan guru kita tercinta, bersihkan wadah itu, untuk menerima limpahan yg Agung Istiqomah rasa dalam Mujahadah adalah kewajiban yg mengaku muridnya. Karena didalam Istiqomah Rasa itulah mengandung kecintaan, yg disertai rasa kasih sayang yg mendalam dalam kehidupan yang fana ini, leburkanlah bersama para utusannya (Mursyid) menuju yang SATU yaitu keabadian yang hakiki. Rasa ini membangkitkan kesadaran untuk lebur bersamanya kedalam lautan yg sangat luas tanpa tepi ,yang membersihkan segala kotoran yang menempel, Penyatuan jiwa dgn utusannya (mursyid) menuju keindahan yg maha indah.. Seorang Mursyid ingin semua muridnya begitu.. Menuju Baldatun thoyibatun wa Robbun ghofur. Sehingga menjadi pelita yg besar dan menerangi dunia lahir dan dunia ruhani dari masrik sampai magrib ila yaumil qiyamah. Semoga Alloh menjaga diri kita seperti Alloh menjaga para Guru-Guru kita,, dgn kuasa/ Karsa-Nya…aamiin SHOLAT DAIM Orang yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam keadaan berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak. Intinya adalah segala perbuatannya adalah sholat. Inilah yang disebut “sholat daim”. Aladzina hum ‘ala sholaatihim daa’imuun. Yaitu mereka yang terus menerus melakukan sholat (Q.S Al-Ma’aarij : 70:23) Mereka yang mampu sholat daim adalah mereka yang tidak akan berkeluh kesah dalam hidupnya dan senantiasa mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S 70 : 19-22. Nah, sholat daim ini modelnya seperti apa? Ah.. tentu saja tidak bisa dibeberkan disini karena sholat daim adalah “oleh-oleh” dari hasil pencarian spiritual manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka yang telah memiliki kematangan spiritual. Sholat daim adalah sholatnya orang ‘arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah sholatnya para Nabi, Rasul, dan orang-orang ‘arif. Ilmu ini memang tidak banyak diketahui orang awam. Lantas bagaimana dengan sholat lima waktu? Nah sholat lima waktu sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang harus dikerjakan manusia untuk mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus untuk mengingat Allah sebagaimana firman-Nya : Dan ingatlah kepada Allah diwaktu petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum (30) : 17) Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang. (Q.S Al-Insaan (76) : 25) Ayat diatas bukan berarti mengingat Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan petang sebab makna ayat diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam 12 AM-12 PM, sampai dengan petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah, karena tidak semua orang sanggup untuk mengingat Allah dalam sehari-semalam maka sholat lima waktu itu adalah merupakan event khusus untuk mengingat-Nya. Jika orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah akan mudah terlupakan. Kalau Allah terlupakan maka bumi ini bisa rusak oleh berbagai kejahatan yang dilakukan manusia. Orang awam perlu dilatih disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat. Namun demikian, janganlah merasa cukup puas hanya dengan sholat lima waktu. Tingkatkanlah agar kita mampu melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali ungkapan Sunan Bonang yang tertulis dalam Suluk Wujil : Utaming sarira puniki Angawruhana jatining salat Sembah lawan pujine Jatining salat iku Dudu ngisa tuwin magerib Sembahyang araneka Wenange puniku Lamun aranana salat Pan minangka kekembaning salat daim Ingaran tata krama Artinya : “Unggulnya diri itu mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sebenarnya bukan mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang, apabila disebut sholat maka itu hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama” Dari ajaran Sunan Bonang diatas, maka kita bisa memahami bahwa sholat lima waktu adalah sholat hiasan dari sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah masuk surga dan terhindar neraka. Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka yang mampu menegakan sholat yaitu dengan sholat tersebut, ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar. Sayangnya, saat ini banyak orang yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan melupakan hakekat sholat itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada gerakan ataupun bacaan sholat, mereka saling ribut mengatakan sholatnya paling benar dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya benar. WUDHU CAHAYA Dua jenis penyucian: Pertama lahir, ditentukan oleh peraturan agama dan dilakukan dengan membasuh tubuh badan dengan air yang bersih. Kedua ialah penyucian batin, diperoleh dengan menyadari kekotoran di dalam diri, menyadari dosanya dan bertaubat dengan ikhlas. Penyucian batin memerlukan perjalanan kerohanian dan dibimbing oleh guru kerohanian. Menurut hukum dan peraturan agama, seseorang menjadi tidak suci dan wudhu menjadi batal jika keluar sesuatu dari rongga badan. Ini perlu diperbaharui dengan wudhu. Ketika keluar mani dan darah haid mandi wajib diperlukan. Dalam hal lain, bahagian tubuh yang lain – tangan, lengan, muka dan kaki – mesti dibasuh. Mengenai pembaharuan wudhu, Nabi s.a.w bersabda, "Pada setiap pembaharuan wudl, Allah perbaharui kepercayaan hamba-Nya dengan cahaya iman yang bersih dan memancar dengan lebih bercahaya". Dan, "Mengulangi bersuci dengan wudhu adalah cahaya di atas cahaya". Kesucian batin juga bisa hilang, mungkin lebih sering daripada kesucian lahir, dengan sifat buruk, tabiat buruk, perbuatan dan sifat yang merusakkan seperti sombong, takabur, menipu, mengumpat, fitnah, dengki dan marah. Perbuatan secara sadar dan tidak sadar memberi bekas kepada roh kita: mulut yang memakan makanan haram, bibir yang berdusta, telinga yang mendengar umpatan dan fitnah, tangan yang memukul, kaki yang membawa kepada kejahatan. Zina, yang juga salah satu dosa, bukan saja dilakukan secara jasmani. Nabi s.a.w bersabda, "Mata juga berzina". Bila kesucian batin ditanamkan demikian dan wudhu kerohanian batal, membaharui wudhu untuk yang demikian adalah dengan taubat yang ikhlas, yang dilakukan dengan menyadari kesalahan sendiri, dengan penyesalan yang mendalam disertai oleh tangisan (yang menjadi air yang membasuh kokotoran jiwa), dengan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, berniat sungguh-sungguh meninggalkan semua kesalahan, dengan memohon keampunan Allah, dan dengan berdo’a agar Dia mencegah kita dari melakukan dosa lagi. Sholat adalah menghadap Tuhan. Berwudhu, berada di dalam keadaan suci, menjadi syarat untuk sholat. Orang arif tahu penyucian lahir saja tidak cukup, karena Allah melihat jauh ke dalam lubuk hati, yang perlu diberi wudhu dengan cara bertaubat. Firman Allah: "Inilah apa yang dijanjikan untuk kamu, untuk tiap-tiap orang yang bertaubat, yang menjaga (batas-batas)". (Surah Qaaf, ayat 32). Penyucian tubuh dan wudhu lahir terikat dengan masa kerana tidur membatalkan wudhu. Penyucian ini terikat dengan siang dan malam bagi kehidupan di dalam dunia. Penyucian alam batin, wudhu bagi diri yang tidak kelihatan, tidak ditentukan oleh masa. Ia untuk seluruh kehidupan – bukan saja kehidupan sementara di dunia tetapi juga kehidupan abadi di akhirat. LAKI-LAKI HAID JANGANLAH NIAT INGIN MASUK SYURGA Kadang-kadang kami mendengar ucapan begini : “Islam itu sebagai Rohmatan Lil ‘Alamiin, maka nanti kamu itu akan dimasukkan syurga”. Menurut kami, apakah tidak malu berkata seperti itu?. Itu berarti selalu minta haknya saja tapi kewajibannya tidak diperhatikan. Bagi Tashawwuf : Bila ada orang yang ibadah dengan mengharap masuk syurga, itulah orang laki-laki haid, tidak pernah bersih. Ibadah sedikit saja minta balasan syurga : “Yaa Tuhan, saya telah sholat Shubuh dua roka’at, maka masukkanlah saya ke dalam syurga Firdauss”. Manusia yang seperti itu adalah lupa kalau pahalanya sudah diterima lebih dahulu. Manusia telah diberi pahala mata, diberi pahala ruh, diberi pahala akal, diberi pahala fikiran, diberi paha umur, diberi pahala kesehatan, diberi pahala alam semesta dan sebagainya. Dan setelah pahala itu diberikan semua, barulah manusia itu diperintah ibadah. Kalau dipikir-pikir, apakah kita diberi bayarannya dulu ataukah kita diperintah ibadah dulu?. Jelas kita diberi bayaran dulu, diberi pahala dulu, kemudian barulah diperintah ibadah. Menurut Tashawwuf : Orang yang beribadah dengan mengharap-harap bisa masuk syurga, itu sama artinya dengan Thoma’ (Serakah). Oleh sebab itu, apabila kita ibadah, janganlah bertujuan memperoleh syurga. Kalaupun nanti kita masuk syurga, maka hal itu adalah karena Fadlol dari Alloh semata. Diberi syurga bukanlah karena hasil ibadah kita, tapi itu hanyalah bonus/tambahan saja. Dan bila masuk neraka, maka itu adalah untuk mencuci kotoran-kotoran kita, bukannya Alloh menyiksa manusia, sebab Alloh itu Maha Rohman Rohim, masak sering membaca : “Bismillaahirrohmaanirrohiim” masih lupa. Kita harus sadar bahwa Alloh itu Rohman Rohim, tidak kejam, tidak menyiksa dan tidak menganiaya manusia. AKIBAT KELALAIAN MANUSIA SENDIRI Adapun yang menganiaya adalah diri manusia itu sendiri. Kan sudah dinasehati : “Jangan lewat sini, ini jalan yang tidak enak, ini jalan menuju ke neraka”, tapi malah dilewati. Jadi umpama manusia itu ada dipersimpangan jalan, manusia itu sebetulnya sudah diberi papan petunjuk jalan (plang). Jalan ke kanan itu jalan ke syurga dan jalan ke kiri itu jalan menuju neraka : “Jangan melalui sana karena disana ada neraka tidak enak, lewatlah sini saja karena ini jalan yang enak jalan ke syurga”. Namun sudah diberitahu berkali-kali ternyata masih saja tidak percaya, bahkan berkata : “Ini kan kaki-kakiku sendiri, mau saya pakai jalan kemana saja itu terserah aku!”. Dan ia ngeluyur dengan nggeremeng sendiri sambil membaca “Sholaatulloh Salaamulloh”, dengan meminta minta uang dipinggir jalan yang katanya untuk membangun ini dan itu, tapi tidak disangka-sangka akhirnya dia masuk neraka beneran. Martabat Tujuh Bahwa apa yang ditulis oleh Syeh Fadlullah (wafat tahun 1620 M) di India dalam buku Al Tuhfah al Mursalah ila Ruh al Nabi tentang martabat tujuh, mengandung dua muatan. 1.Yang pertama hendak membuktikan bahwa jagad manusia lahir dan batinnya dan jagad raya dengan segala isinya adalah merupakan bangunan Karya Ilahi yang “Munjer” (berpusat, red.) pada Keberadaan Diri-Nya. Yakni bagaikan samodra tanpa batas dengan segala yang ada di dalamnya. Dimana segala makhluk yang ada di dalam samodra ini hidupnya, bernafasnya, berdaya dan bertenaganya, bergeraknya, makan dan minumnya, juga matinya, tetap berada dalam samodra. Samodra tanpa batas dan tepi adalah gambaran keberadaan DiriNya Zat Yang Mutlak WujudNya dan segala isi yang ada di dalamnya (termasuk segala macam jenis ikan) adalah gambaran jagad lahir batinnya manusia dan segala isi jagad raya serta jagad raya itu sendiri. Karena itu ilmu tauhid diserupakan laut yang maha luas tiada batas. Oleh karena itu pula maka Zat Yang Maha Mutlak WujudNya dan Allah AsmaNya ini meski hanya Satu akan tetapi dimana-mana ada. Meliputi segala sesuatu. Dekat sekali. Sahdan hamba ini (manusia) tanpa denganNya, bernafaspun tidak (apalagi hingga berdaya dan bertenaga). 2.Yang kedua apabila tidak yakin mengenali keberadaan DiriNya Yang Al-Ghaib (hanya menduga-duga saja dari tempat yang jauh, harga diri nafsunya gengsi bertanya kepada ahlinya, dalam QS Saba’ 53, ditetapkan kufur olehNya). Lalu menjadi hamba yang fasik. Yaitu suatu perbuatan yang terkutuk karena ia hidup sama saja dengan telah berani memperalat Tuhan untuk kepentingan nafsunya. MARTABAT TUJUH. 1.Martabat Ahadiyat. Pada martabat ini Yang Ada dan Yang Wujud hanyalah DiriNya. Satu-satuNya Zat Yang Tan Kinira kinaya ngapa. Dialah Zat yang kemudian memberi nama pada DiriNya Allah. Qul Huwa Allahu Ahad. Katakanlah (hai Rasul) bahwa Dialah Satu-satuNya Zat Yang Al-Ghaib yang jelas dan nyata dapat diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, Allah AsmaNya. (Kandungan makna dhomir Huwa). 2.Martabat Wahdat. Ini adalah martabatnya hakikat Nur Muhammad. Nukad gaib. Benih gaibnya manusia yang “menyatu dengan DiriNya”. Sebab hakekat Nur Muhammad adalah Cahaya TerpujiNya Zat Yang Wajib WujudNya itu sendiri. Cahaya yang dengan ZatNya sama sekali tidak pernah pisah. Bagaikan sifat dan mausuf. Bagaikan kertas dan putihnya. 3.Martabat Wahidiyat. Ini adalah martabat hakekatul insan. Allah telah menjadikan adanya rasa yang menjadi dasar manusia. Tetapi pada martabat ini rasa yang akan menjadi dasar manusia itu masih murni. Yaitu rasa yang hanya merasakan bahwa Yang Wujud dan Yang Ada hanya Diri Ilahi Yang jelas dan nyata. Sebab memang selain DiriNya, sama sekali belum ada. Rasa yang murni ini karena didalamnya, isinya, tidak lain hanyalah Nur Muhammad. Seandainya diutarakan dengan ungkapan kata dengan bahasa lesan dunia adalah sebagaimana yang pernah disabdakan Nabi Muhammad Saw: “Raaitu Rabbi bi Rabbi” (Aku melihat Rabku, bersama dengan Rabku, red). Pada martabat ini, kejelasannya sebagaimana firman Allah dalam QS Al A’raf 172 ketika Allah mengambil kesaksian atas diri manusia: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?“ Semua jawabnya sama: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Yaitu saksi yang benar-benar secara yakin dan jelas menyaksikan (=weruh=melihat) Ada dan Wujud Satu-satuNya Zat Tuhan (yang menyaksikan/melihat adalah mata hatinya, red). Dan perlu diketahui bahwa adanya Allah melakukan hal demikian tadi supaya di hari kiyamat nanti manuisia tidak berkata: “Sesungguhnya kami (bani Adam adalah) orang-orang yang lengah terhadap kesaksiannya itu”. Sebab dalam menjalani kehidupan dunia sebagai tempat ujiannya, manusia dikehendaki oleh Allah supaya lulus dalam memenuhi amanatNya: “Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal-yaqin”. (QS Al Hijr 99).Yaitu supaya menyembah kepadaNya sehingga Rabb yang disembah itu dengan yakin hadir (dalam rasa hati, red) kepadanya. Sehingga ketika mati, benar-benar pulang kembali ke tempat asalnya. Bertemu lagi dengan DiriNya. Pulang kembali ke martabat Ahadiyat, yang pintu pulangnya ini (satu-satunya pintu) adalah mengenali martabat Wahidiyat (martabat hakekatul insan) yang secara yakin dan benar kenal dan tahu adanya Nur Muhammad yang ada di dalamnya. 4.Martabat Alam Arwah. Pada martabat ini hakekatul insan telah berada di dalam alam arwah. Alam Daya dan kekuatan Tuhan (yang setelah dimasukkan ke dalam bakalan manusia yang asalnya dari mani, dari tanah liat, dari lumpur yang tidak berharga), ternyata diaku oleh watak akunya nafsu. Martabat alam arwah ini dibentuk Allah karena mauNya Tuhan, KemuliaanNya tidak akan dimiliki sendiri. Tetapi juga diratakan kepada manusia. Hanya kalau manusia, supaya menjadi mulya (disisiNya), harus dengan melewati ujian. Yaitu berupa kehidupan dunia dengan diwujudkannya berjiwa-raga. Martabat alam arwah ini diberadakan Tuhan supaya (mauNya Tuhan), arwah yang tidak lain adalah Daya dan Kekuatan DiriNya ini akan dapat dijadikan untuk mendorong semangat dan kesungguhan manusia dalam berjihadunnafsi hingga nafsunya (yang tidak lain adalah wujudnya jiwa raga) benar-benar kalah lalu rela patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasa mendekat sehingga selamat sampai kepadaNya lagi. Namun ternyata, daya dan kekuatan milik Tuhan ini yang pasti diaku oleh nafsunya manusia. Sehingga yang mesti terjadi tidak lain adalah vonis Allah pada manusia sebagai hamba yang “Innaahu kaana zaluuman jahuula” (sesungguhnya manusia itu benar2 zalim lagi bodoh, red). Sahdan bila tidak ditarik oleh fadhal dan rahmatNya, pasti mengikut jalan syaitan, kecuali sedikit. (QS An Nisa’ 83). 5.Martabat Alam Mitsal. Merupakan struktural yang lembut tentang hati dan akal budi. Namun akan menjadi penentu bagi kehidupan manusia. Pada martabat alam mitsal ini Tuhan membuka tabir bahwa: “Maa kaana fii ‘alamil kabir kamitsli maa kaanaa fii ‘alam al shaghir”. Bahwa apapun yang ada pada jagad besar (jagad raya, red), semua itu ada pula dalam jagad kecil (lahir dan batinnya manusia, red). Di alam mitsal ini Allah SWT menetapkan bagi hamba yang dikehendaki mulia disisiNya (menjadi muttaqin) dengan cara menghidupkan berfungsinya hati nurani yang wataknya persis para Malaikatul-muqorrobin. Yaitu rela berlaku sujud (=makna patuh dan tunduk, taqwa) kepada wakilNya Allah di bumi. Yaitu wakil yang secara persis dan benar mengenali DiriNya Sang Muwakkal, ilmuNya, kehendakNya dan jalan lurus hingga sampai kepadaNya. Sebab Dia sama sekali tidak akan pernah "ngejawantah" (menampakkan Wujud DiriNya, red) di muka bumi. Hingga karena itu hamba yang dikehendaki menjadi muttaqin, imannya kepada AL-Ghaib (DiriNya Zat Yang Gaib) secara yakin dan benar dapat diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati dalam melakukan semua kewajibannya sebagai hamba dalam menyembah kepadaNya. Di alam mitsal ini pula Tuhan menetapkan bahwa hamba yang disesatkan karena mengikut jejak makhluk yang berani menentangNya (ablasa) lalu oleh Allah dijadikan dijuluki iblis. Yaitu membantah terang-terangan supaya sujud wakilNya. Watak iblis ini oleh Allah diwariskan kepada nafsu manusia (wujudnya jiwa raga) yang oleh Allah dicipta dari mani akan tetapi ternyata menjadi pembantah yang terang-terangan. (QS. An Nahl 4). Di dukung oleh berfungsinya hati sanubari (=kalbun jasmaniyyun zulmaniyun) yang menjadi markasnya nafsu lawwamah (=penyesalan, red). Itulah sebabnya Nabi Muhammad bersabda bahwa memerangi nafsunya sendiri adalah perang terbesar. Sedang dengan tanpa mengendarai nafsu, mendekat untuk selamat pulang kembali kepada Tuhan akan memakan waktu 3000 tahun. Padahal umur manusia tidak akan ada yang sekian lamanya. Kemudian apabila si nafsu dapat dikalahkan, rela dijadikan tunggangannya hatinurani, roh dan rasa mendekat kepadaNya, dengan bimbingan wakilNya di bumi, atas ijinNya, seumur masing-masing akan dapat sampai. Alam mitsal ini adalah sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad Saw yang oleh Allah dijalankan menemui DiriNya ketika Isra’ dan Mi’raj. Sebelum berangkat (dengan kendaraan Buraq), beliau oleh GuruNya (Malaikat Jibril) disucikan. Dibelah dadanya. Disucikan dengan air zam-zam (=lambang ilmu yang bening dan suci hingga seyakinnya mengenali DiriNya Zat Al-Ghaib Yang Maha Suci). Dan Buraq adalah simbul nafsu muthmainnah. Nafsu yang secara utuh telah dapat ditaklukkan hingga benar-benar dapat dikendalikan sesuai dengan tujuan yang mengendarainya. Pengendara yang senang hati dan disenangi Ilahi kembali kepadaNya, masuk menjadi hambaNya. Bukan hamba Nafsu. Bukan hamba dunia. Bukan hamba taghut. 6.Martabat Alam Ajsam. Adalah martabat ketika bakal manusia diproses Allah Swt dalam kandungannya sang ibu. Dimana setelah genap 120 hari berupa segumpal daging, Allah memasukkan kedalam bakal manusia ini rohNya kemudian ditetapkan sekali perihal nasibnya. Umurnya. Rezkinya. Nasib baik dan buruknya. Amal-amalnya. Dalam sebuah haditsnya Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa meskipun salah seorang diantara kamu telah mengamalkan amal perbuatan ahli surga sehingga antara surga dan kamu tidak ada satu hasta (saking dekatnya) namun tulisan telah menetapkan bahwa kamu menjadi ahli neraka, lalu mengamalkan amal perbuatan ahli neraka, maka masuklah kamu kedalamnya. Demikian juga sebaliknya, meskipun salah seorang di antara kamu telah mengamalkan amal perbuatan ahli neraka sehingga antara neraka dan kamu tidak ada satu hasta (saking dekatnya), namun tulisan telah menetapkan bahwa kamu menjadi ahli surga, lalu mengamalkan amal ahli surga, maka masuklah kamu ke dalamnya. Penjelasan tersebut memberikan bukti bahwa manusia itu agar benar-benar menyadari sebagai hamba yang apes, hina, nista, tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa, bisu, tuli, bisanya hanya nambah salah dan dosa. Maksudnya, supaya manusia ini benar-benar mengenal dan pasrah kepada Yang Maha Segala-galanya. Sebab sebenarnyalah bahwa Yang Wujud dan Yang Ada, Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Empunya lahir batin manusia dan jagad raya dengan segala isinya, Yang Obah Osik, adalah DiriNya Zat Al-Ghaib Yang Allah AsmaNya. 7.Martabat Insan Kamil. Ini adalah manusia sebagai hamba Allah yang dibentuk olehNya telah secara pasti mencakup alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam. Karena dia memang sengaja dijadikan wakilNya untuk membimbing manusia supaya selamat pulang kembali kepadaNya. Mereka ini adalah para NabiNya, para RasulNya, para penerus tugas kerasulannya Nabi Muhammad Saw, yaitu para Wasithah yang silsilahnya tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai kiyamat nanti. KAPAL BISMILLAH Ketika kita naik kendaraan (ini tidak khusus naik kapal saja), kapal terbang, kendaraan darat, kereta api dan lain-lain supaya membaca : BISMILLAAHI MAJRIHAA WA MURSAHAA INNA ROBBII LAGHOFUURUR ROHIIM WAMAA QODARULLOOHA HAQQO QODRIHI. Rosululloh bersabda : AMAANUN MINAL GHOROQ Aman dari tenggelam, ini makna secara dhohir. Disini akan kita tinjau dari aspek Filsafat / tashawuf Dunia ini ibarat lautan yang sangat dalam (di ingat-ingat), gelombangnya sangat besar, gunung batu karangnya sangat tajam. Sedang manusia ini, ruh manusia berjalan dari alam Alif (Arwah) menuju alam Alif (Akhirat). Membawa Alif (Amanat) melalui lautan dunia, oleh karena musafir kita itu sangat jauh. Rosululloh bersabda : QOOLA ROSUULULLOOHI SHOLLALLOOHU ‘ALAIHI WASALLAM : JADDIDUS SAFIINATI FA INNAL BAHRO AMIIKUN. Bersabda Rosululloh SAW : “Perbaruilah perahumu (kapalmu), sesungguhnya lautan itu sangat dalam”. Yang tidak naik kapal satupun tidak ada yang selamat pasti tenggelam, dan kapal itu harus kuat. Karena kapalnya tidak kuat banyak yang tenggelam di lautan dunia. Jadi siapa yang tidak kuat naik kapalnya nabi Nuh, satupun tidak ada yang selamat di dunia. Mengapa putranya nabi Nuh yang bernama Kan’an ikut tenggelam?. Karena tidak ikut naik kapal, walaupun anaknya Rosul, nabi, ‘ulama’ besar, pendeta, kyai, apabila tidak ikut dalam kapalnya nabi Nuh pasti tenggelam. Imannya tidak akan selamat di dunia ini, sudah jutaan, ratusan juta manusia yang sudah tenggelam. Jadi semua harus cepat-cepat naik kapal, kapalnya tidak tahu, lalu kapal mana yang dinaiki?. Air bah sanggup menenggelamkan dunia ini tapi tidak sanggup menenggelamkan kapalnya nabi Nuh, mengapa?. Apa karena kuatnya kapal?. Karena kapal itu kapal BISMILLAH. * BISMILLAH MAJRIHAA : Dengan nama Alloh, kapal berlayar. * BISMILLAH WAMURSAHAA : Dengan nama Alloh, kapal berlabuh. Jadi berangkatnya kapal itu dengan BISMILLAH. Berhentinya kapal di berhentikan dengan BISMILLAH. Artinya gerak maupun diam berada di dalam kapal BISMILLAH. Rosululloh SAW bersabda : QOOLA ROSUULULLOOHI SHOLLALLOOHU ‘ALAIHI WASALLAM : BISMILLAAHIL LADZII LAA YADLURRU MA’AA ISMIHI SYAIUN FIL ARDLI WA LAA FIS SAMAA-I WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. Deangan BISMILLAH seluruh langit dan bumi tidak ada yang membahayakan manusia, tak ada yang tenggelam. Jadi harus naik kapal BISMILLAHIR ROMAANIR ROHIIM, kapalnya nabi Nuh itu disusun dari 10 macam papan, dihitung sendiri hurufnya BISMILLAHIR ROHMAANIR ROHIIM. BISMILLAHIR ROHMAANIR ROHIIM tersebut ditulis dalam sidebar web jalanpincang.com ini diatas warna hitam, dan hitam itu maknanya langgeng. Sedangkan yang di bawah ditulis angka 10 dasarnya hitam, angka 10 itu BISMILLAHIR ROHMAANIR ROHIIM, diatas dan dibawah itu sama. Supaya para pembaca itu tidak tenggelam, dengan nama Alloh kita tidak akan tenggelam. Asal nama Alloh, kalau atas nama Jin pasti tenggelam, bila dengan nama Syaithon tambah parah. Iman kita tidak akan tenggelam selama dengan nama Alloh, ada orang yang tenggelam dalam kegembiraan. Tenggelam karena banyak harta benda, ada tenggelam karena susah. Ada tenggelam karena mempunyai kedudukan yang tinggi, ada tenggelam karena kedudukannya lepas. Jadi orang tenggelam itu banyak, karena tidak dengan BISMILLAH lupa dengan Alloh. Akan tetapi kalau kita itu tetap dengan BISMILLAH diwaktu malam dengan BISMILLAH (dengan nama Alloh). Tegasnya : • DZIKRULLOH diwaktu malam. • DZIKRULLOH diwaktu siang. • DZIKRULLOH diwaktu gembira. • DZIKRULLOH diwaktu susah. • DZIKRULLOH diwaktu sehat. • DZIKRULLOH diwaktu sakit. Sampai diwaktu sakarotul maut DZIKRULLOH, waktu dipuja orang DZIKRULLOH, ALHAMDULILLAAHI ROBBIL ‘ALAMIIN. Waktu di cela orang DZIKRULLOH, pada waktu berjanjian dengan orang tetap DZIKRULLOH Insya Alloh, kembali kepada Alloh. Makan enak membaca ALHAMDULILLAH tidak tenggelam kepada kenikmatan, diwaktu menerima cobaan juga begitu LAA HAULA WALAA QUUWATA ILLAA BILLAH. Di waktu mendapat musibah INNA LILLAAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UUN kita tidak akan sampai tenggelam. Sudah berapa juta kapal yang tenggelam, apalagi akhir-akhir ini. Kalau dengan Dzikrulloh tidak akan tenggelam, pengikutnya banyak ALHAMDULILLAH. Pengikutnya berkurang ALHAMDULILLAH. Jualannya laku ALHAMDULILLAH, tidak laku atau kurang laku ALHAMDULILLAH. Ketika jadi orang yang terhormat ALHAMDULILLAH, tidak menduduki kursi ALHAMDULILLAH. Kalau tetap Dzikrulloh tidak akan tenggelam, akan merasakan nikmat terus menerus, hati terasa damai, tenang. Di waktu gembira, susah, kaya, faqir, sehat, sakit bahkan sampai sakarotul mautpun tidak perlu menenggelamkan kita. Makanya orang yang mati itupun sampai di Talqin LAQQINUU MAUTAAKUM LAA ILAAHA ILLALLOH. Semoga manfaat. SIFAT EMPAT UNSUR Rosululloh SAW bersabda, tersebut di dalam kitab ATH-THIBU FIR ROHMATI WAL HIKMAH Bab I Hal. 3 susunan Jalaludin Sayuthi, namaya sendiri Abdur Rohman, julukanya Jalaluddin, kampungnya Sayuthi. Sayuthi itu nama kampung di ibukota kairo. QOOLAN NABII SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM: KHOLAQOL INSAANA MIN ARBA’ATIN ASY-YAK MINAL MAA-I WATH THIINI WAN NAARI WAR RIIHI Alloh Ta’ala menciptakan manusia itu tersusun dari 4 unsur: dari unsur air, dari unsur tanah, dari unsur api dan dari unsur angin. 1. Unsur Tanah sifatnya kering. 2. Unsur Air sifatnya basah. 3. Unsur Angin sifatnya dingin. 4. Unsur api sifatnya panas. Empat unsur itu di gabung manunggal menjadi satu menjadi badan manusia. Itu yang di sebut filsafat Jawa dulur papat limo badan. Kemudian mengandung kiblat papat limo pancer. Kiblat itu artinya arah menghadap. Kiblat pertama timur, kiblat kedua barat, kiblat ke tiga utara, kiblat ke empat selatan, limo pancer ~ pancer dirinya sendiri. Jadi depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah. Kalau pancer sudah tidak ada, manusianya sudah meninggal maka tidak ada kiblat bagi manusia. Tidak ada timur, barat, utara dan selatan bagi orang yang sudah meninggal. Kemudian sifat-sifat seprti kering, basah, dingin dan panas itu menjadi tabiatnya manusia. Ibaratnya seperti kopi, kopi itu kalau gulanya terlalu banyak menjadi manis. Manusia juga sperti itu kalau unsur apinya banyak akan mudah marah. Kemudian sifat tanah itu tenang, kaya, dermawan. Tanah itu mempunyai sifat kaya, apa yang tidak ada didalam tanah? Dan pula tanah itu dermawan. Apabila kita meletakan sebutir biji padi ke dalam ibu pertiwi tidak lama kita akan dibalas 700 butir padi. Semua di tumbuhkan oleh ibu pertiwi. Apabila kikir berarti bertentangan dengan unsurnya sendiri. Sifat tanah di dalam Al Qur-an ada 10. Air itu mempunyai sifat rendah hati dan benar. Air itu juga untuk penghidupan. Tanah yang asalnya kering kemudian di siram oleh air hujan akhirnya tanah menjadi hidup. Hidupnya tanah menghidupkan benih-benih yang ada di dalam tanah. Kemudian tumbuh bermacam-macam tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu sifatnya air itu hidup dan menghidupkan. Kalau ada orang yang ingin hidup sendiri, enak sendiri dan kaya sendiri, mulya sendiri itu bertentangan dengan sifat dirinya sendiri. Bertentangan dengan dulur papat limo pancer. Sifatnya angin itu pemerataan. Jadi jangan mengejar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi saja tetapi juga pemerataan. Sifatnya api memberantas yang tidak baik. Kata pujanga dahulu: onok lemah pinendem ing siti (diri sendiri), onok wong ngangsu pikulane banyu, onok baito momot segoro, utowo golekono susuhe angin. (Siapa susuhe angin? Diri kita ini, anginnya keluar-masuk lewat hidung). Onok wong golek geni dedamaran, onok sengenge pinepe. (Itu semua dirinya sendiri). Sholat itu di dahului dengan wudlu, sarana wudlu memakai air, kalau tidak ada di perintahkan tayammum. FALAM TAJIDUU MAA-AN FATAYAMMAMUU Di perintahkan tayammum dengan debu. Jadi tanah itu gantinya air. Kalau tanah dan air di gabung menjadi tanah air. Kalau tidak senang dengan tanah air bertentangan dengan dirinya sendiri. ILMU SANGKAN PARANING DUMADI Di ceritakan, ketika Sunan Kalijaga di bai’at ILMU SANGKAN PARANING DUMADI di atas perahu, perahunya bocor. Kemudian ditambal dengan lempung. Di dalam lempung tersebut ada seekor cacing. Mendengar baiat tersebut kemudian cacing berubah menjadi manusia, yang kemudian diberi nama SYEKH SITI JENAR. Asalnya cacing berubah menjadi manusia kemudian namanya syekh Siti Jenar. Bukan hanya menjadi manusia Siti Jenar juga menjadi wali. Sudah dipesan tidak boleh menyebar ilmu Haq disembarang tempat, akan tapi Siti Jenar tidak faham tetap menyebarkan ilmu haq disembarang tempat. KEAJAIBAN ILMU SANGKAN PARANING DUMADI Didalam tanah itu ada suatu mahluq yang namanya cacing, cacing itu adalah mahluq yang hina dan lemah. Walaupun mahluq yang lemah akan tetapi kalau diinjak juga akan bergerak. Akan tetapi setelah mendengar baiat ilmu sangkan paraning dumadi yang dibaiatkan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga, maka hilanglah sifat hayawannya, dari mahluq yang hina menjadi mahluq yang mulya ( manusia). Disamping menjadi manusia juga menjadi WALIYULLOH. Akan tetapi walaupun wujud manusia kalau tidak kemasukan ilmu sangkan paraning dumadi maka manusia itu akan kembali menjadi cacing, bahkan kadang berubah menjadi benda. 1. Contoh manusia yang tidak kemasukan ilmu Sangkan Paran itu ada yang berubah menjadi batu. Seperti disebutkan didalam Al Qur'an surat Al Baqoroh ayat 74. FAHIYAA KAL HIJAAROTAN Artinya : " Maka dia seperti batu " ( bentuknya manusia akan tetapi didalamnya batu ). Manusia yang dalamnya batu, apabila diberi hujan nasihat itu tidak akan pernah bisa masuk (nleser saja ). Al Qur'an, hadits semuanya nleser saja, batu tetap batu, air tetap air tidak ada satu kekuatan dunia yang mampu menghancurkannya. Orang seperti itu disebutkan didalam Al Qur'an: surat Al Isro' surat ke 17 ayat 50. QUL KUUNUU HIJAAROTAN AU HADIIDAN Artinya : " Jadilah batu-batu atau besi-besi " Juga disebutkan didalam surat Al Baqoroh surat ke 2, ayat 74. FAHIYA KAL HIJAAROTI AU-ASYADDU QOSWATAN. Artinya : " Maka dia seperti batu atau lebih keras lagi ". Yang bisa mencairkan hati yang demikian itu hanyalah api neraka. WAQUUDUHAAN-NAASU WAL HIJAAROTU Artinya : " Dan dinyalakan api neraka itu dengan manusia dan batu ". Orang yang mempunyai hati seperti itu yang bisa mencairkan adalah api neraka, jadi menunggu besok. Kalau sekarang itu diberi keterangan maka dikatakan cerewet, diajak ibadah keluar rewelnya, Nabi dijadikan musuh, syaithon dijadikan guru. 2. Ada lagi orang yang tidak kemasukan ilmu sangkan paraning dumadi manusia bisa berubah menjadi kera. Disebutkan didalam Al Qur-an surat Al Baqoroh ayat 65. KUUNUU QIRODATAN KHOOSYI'-IIN Atinya : " Jadi keralah kamu dan terhina ". 3. Contoh lain orang yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning dumadi, manusia berubah menjadi khimar. Didalam Al Qur-an disebutkan, surat Jum-at, surat ke 63 ayat no. 5: KAMATSALIL HIMAARI YAHMILU ASFAARON Artinya : " Adalah mereka seperti khimar yang membawa kitab ". Khimar itu mengangkut barang-barang akan tetapi mereka tidak tahu apa yang dibawanya. Makannya seperti sapi, kesukaanya seperti sapi. Manusia itu adalah mahluq yang mempunyai aqal, juga mempunyai perasaan, akan tetapi kalau tidak tahu asal usulnya, atau ilmu sangkan Paraning Dumadi maka ia seperti keledai, bahkan lebih hina. Kalau hayawan tidak tahu sangkan paraning dumadi itu lumrah (hal yang biasa),karena dia tidak punya aqal dan perasaan. 4. Adalagi manusia yang tidak kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, maka ia akan lebih hina dan dia seperti anjing. Dalam A lQur-an disebutkan didalam surat Al A'roof surat ke 7, ayat no.176. WAT-TABA'A HAWAAHU FAMATSALUHU KAMATSALIL KALBI Artinya : " Dan orang yang mengikuti hawanya, itu laksana anjing ". 5. Ada juga orang yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, itu akan berubah menjadi kemlandingan. Dalam Al Qur-an disebutkan didalam surat Al Ankabuut, surat ke 29, ayat no. 41. KAMATSALIL 'ANKABUUT Artinya : " Seperti kemlandingan ". Rumah yang dibangun oleh kemlandingan itu tidak bisa dibuat untuk berlindung dari panas, apabila panas akan tetap kepanasan dan apabila hujan akan tetap kehujanan. Rumahnya hanyalah untuk menjaring mangsa saja. Kalau kemlandingan itu kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, maka akan hilanglah sifat kemlandinganya dan akan muncul sifat manusianya, serta menjelma menjadi mahluq yang mulya. Seperti cacing yang kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, kemudian berubah menjadi manusia, bahkan menjadi auliya'. 6. Ada manusia yang tidak kemasukan Ilmu Sangkan Paraning Dumadi itu berubah menjadi Iblis. Seperti disebutkan didalam Al Qur-an Surat Al 'An'aam, surat ke 6, ayat no.112. SYAYAATHIINAL INSI WAL JINNI Artinya : " Syaithon berbentuk jin dan syaithon berbentuk manusia ". Sejelek-jelek manusia adalah manusia yang tidak mempunyai musuh, karena syaithon yang seharusnya menjadi musuhnya malahan dijadikan teman. Ketemu Syaithon dianggap teman, ketemu penipu dianggap teman, sedangkan kita itu wajib mempunyai musuh syaithon. Bagaimana memusuhi syaithon, kalau tidak tahu Syaithon ? Oleh karena itu wajib pula mengetahui syaithon. Untuk bisa mengetahui syaithon harus kemasukan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, setelah kemasukan ilmu tersebut maka akan menjadi SYEKH SITI JENAR. * SYEKH. Kalimat syaikh itu bisa diartikan menurut bahasa juga dapat diartikan menurut istilah. 1. Kalimat Syekh menurut bahasa adalah : Setiap orang yang sudah berumur lebih dari 40 tahun, itu dinamakan syaikh baikpun orang itu kafir ataupun mukmin. 2. Kalimat Syekh menurut istilah adalah : Setiap orang yang mempunyai ilmu haqiqot itu dinamakan syaikh, walaupun orang tersebut baru berusia 17 tahun ( Syaikho untuk putri ). * SITI. Siti adalah isinya hati, tempatnya didalam hati bukan dibibir. * JENAR. Jenar itu artinya kuning, kuning adalah menggembirakan. Tetapi bukan kuningnya mundu, bukan kuning emas akan tetapi kuningnya logam mulia. Makanya iman, islam ditempatkan didalam bokor emas. Dimana emasnya ? ya disitu ( bokor emas). Siti Jenar : isinya hati yang kuning ( yang meggembirakan) Disebutkan didalam Al Qur-an, surat Al Baqoroh surat ke 2, ayat no. 69. SHOFROO-UN FAAQI'UL LAUNUHAA TASURRUN NAADHIRIIN Artinya : " Kuning warnanya, menggembirakan hati, orang-orang yang melihatnya ". LIR-ILIR – SYIIR SUNAN KALIJOGO Sunan kalijogo Sekitar tahun 1450 lahirlah seorang ulama’ besar di Indonesia ini yang mempunyai beberapa gelar kehormatan. Gelar-gelarnya diantaranya: 1. Ulama’ Rakyat. Bukan ulama’ partai atau golongan 2. Pandito Cipto Wening Pandito artinya: pandai menata, mengatur, mengorganisasi. Cipto artinya: Orang yang pandai menciptakan sesuatu. Wening artinya: Sesuatu yang bisa menjernihkan suasana. 3. Sufi Negarawan. Orang ahli Tashawuf dan ahli Tata Negara. Jarang ada orang yang ahli Tashawuf dan ahli Tata Negara tetapi Al Hamdulillah di Indonesia ada. 4. Guru Bangsa. Menjadi gurunya Bangsa Indonesia. 5. Kalijogo. Kali itu tempat aliran air tapi beliau bisa menjaga aliran yang macam-macam di Indonesia ini. Nama aslinya Raden Syahid. Karena setelah beliau bertemu dengan Sunan Bonang yang mempunyai nama asli Ibrohim Makhdum dan menjadi muridnya langsung di ajak ke Demak. Dan di Demak ada muktamar wali 9 kemudian beliau di sambut oleh para wali dan di kukuhkan menjadi anggota Wali 9. Waktu mendirikan Masjid Demak beliaulah yang di beri tugas mendirikan satu tiang yang tidak utuh namanya Soko Tatal. Dan beliaulah yang menyusun syair Lir-Ilir. Lir-ilir tandure wes sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh kemanten anyar. Cah angon penekno blimbing kuwi lunyu-lunyu penekno kanggo basuh dodotiro. Dodotiro kumitir bedahe ing pinggir dondomono kanggo sebo mengko sore. Pumpung padang rembulane pumping jembar kalangane tak sorak hore. Syair itu bersumber dari mana? Sumbernya berasal dari hadits nabi Muhammad SAW. Yang bunyinya, QOOLA ROSUULULLOH SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM: FAMAN MURIDA LAHU WALADUN FA’ADZ-DZANA FI UDZUNIHIL YUMNA WA AQOOMA FII UDZUNIHIL YUSROO LAM TADURRUHU UMMUS SIBYAN Barang siapa mempunyai anak yang lahir di adzani telinga kanannya dan di Komati telinga yang kiri tidak membahayakan usahanya Jin yang bernama Ummu Sibyan. Bersumber dari hadits ini kemudian di susun menjadi syair Lir-ilir. Keterangan Lir-ilir Lir-ilir tandure wes sumilir: Mengenai anak yang lahir. Gembiranya orang tua bagaimana? Kalau tanaman yang di harapkan beberapa tahun sudah lahir! Tak ijo royo-royo: Ijo itu isyarah hidup. Oleh karena sangat senangnya di umpamakan seperti Kemanten Anyar. Cah Angon di isyaratkan supaya menekno blimbing kuwi. Blimbing itu artinya apa? Pada umumnya sudutnya blimbing itu ada 5. Untuk apa blimbing itu? Kanggo basuh dodotiro. Untuk membersihkan pakaian. Yang di maksud dengan blimbing sudut 5 itu ialah Dhuhur, Asyar, Maghrib, Isya’ dan Subuh (sholat 5 waktu). Makanya bayi yang baru lahir itu telinga kanan di adzani dan telinga kiri di qomati. Sholat untuk membersihkan pakaian, maksudnya ialah: Di terangkan di dalam Hadits; QOOLA ROSUULULLOH SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM: MATSALUSH SHOLAWATIL KHOMSI KAMATSALI NAHAARIN ADZMIN JARIN Perumpaannya sholat 5 itu seperti sungai di rumahnya orang-orang. Jadi sholat 5 waktu itu ibarat air suci untuk membasuh jasmani dan hati sanubari. Yang di maksud dodotiro itu apa? Yang di maksud adalah Jasmani dan hati sanubari. Jasmani itu pakaiannya ruh. Dan ini yang bisa terkena dosa. Ada dosa lewat mata, lisan dan macam-macam. Maka ini harus di bersihkan dengan blimbing 5 itu. Jadi yang bisa pidato dan bisa mendengarkan pidato, bisa cinta dan mencintai, bisa sholat itu hakekatnya ruhani. Jasmani itu hanya menempel pada ruhani makanya kalau di tinggal oleh ruhani, jasmaninya nggeblak (roboh). Pakaiannya jasmani ya pakaian biasa yang kita pakai ini yang terdiri dari kain. Jadi apabila ada orang sholat dengan pakaian celana jangan di kira yang sholat itu celananya, sarungnya. Apakah ada celana sholat? Yang sholat itu yang di dalam pakaian celana itu. Di dalam pakaian celana ada pakaian lagi namanya pakaian ruhani. Oleh sebab itu apabila waktu sholat yang di ingat hanya berdiri, ruku’, sujud dan seterusnya hanya ingat kepada lahirnya saja. Lupa dengan hakekatnya sholat berarti selama ini yang sholat itu hanya pakaiannya. Dodotironya itu bedah di pinggir cepet-cepet dondomono. Bedah karena dosa cepat-cepat di taubati. Kalau sudah utuh untuk apa? Kanggo sebo mengko sore. Apa artinya Sebo? Akan menerima panggilan dari Alloh yang maha kuasa. Apa artinya sore? Karena semua manusia ini akan surup/sore. Jadi maknanya itu INNA LILLAAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UUN. Kalau bisa kembali kepada Alloh sesuai dengan INNA LILLAAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UUN. INNA LILLAAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UUN itu tersusun dari 5 kalimat, 1. INNA 2. LILLAAHI 3. WA INNA 4. ILAIHI 5. ROOJI’UUN rujuk = kembali. “Saya ini dari Alloh dan akan kembali kepada Alloh”. Jangan kembali kepada bumi karena itu jasmani. Jangan kembali kepada alamnya jin. Kalau sudah bisa kembali otomatis gembira. Dalam Al Qur-an di sebut WA BASY-SYIRIL MUKMININ. ALLADZIINA IDZAA ASHOOBATHUM MUSHIIBATU QOOLU INNA LILLAAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UUN ULAA-IKA ‘ALAIHIM SHOLAWAATUN MIN ROBBIHIM WA ROHMATUN WA ULAA-IKA HUMUL MUHTADUUN. Ini yang di namakan tak sorak hore, mengalami kebahagiaan. INNA LILLAAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UUN di syairkan menjadi Lir-ilir tujuannya untuk bermasyarakat. Dan pada waktu itu tidak banyak yang tahu, yang di ketahui hanya syair Lir-ilir. Yang menciptakan Lir-ilir adalah anggota Wali 9. Dan Wali 9 itu nama organisasi ketika jaman kewalian dulu. Maksudnya 9 ialah setelah tokoh-tokoh tersebut meninggal, harapannya supaya Islam lestari. Karena angka 9 itu di kalikan dengan angka berapa saja nilainya tetap 9. Dan kenyataan itu terbukti. Indonesia di jajah lebih dari 300 tahun. Sedangkan yang menjajah itu beragama Kristen dan ada upaya untuk mengkerdilkan Islam tetapi Islam di Indonesia tetap menjadi mayoritas. KEBAIKAN HATI Bagaimana hati bisa baik ?. Bisanya baik itu melalui Khusnul Khuluq atau budi pekerti yang baik. Dan didalam hati itu sudah ada benih-benih budi pekerti, kita tinggal menghidupkan saja. Nabi Muhammad sendiri diutus kedunia itu untuk menyempurnakan kebaikan akhlaq. QOOLA ROSUULULLOOHI SHOLLAALLOOHU 'ALAIHI WASALLAMA. INNAMAA BU'ITSTU LI-UTAMMIMA SHOOLIHAL AKHLAAQ. Bersabda Rosulullohi s.a.w : Titik berat saya diutus itu untuk menyempurnakan kebaikan akhlaq. Akhlaq itu adanya didalam hati maka kalau manusia itu akhlaqnya baik / budi pekertinya baik ; • Bila mempunyai ilmu, ilmunya akan sampai kepada kearifan. • Bila memegang ekonomi, ekonominya akan sampai kepada pemerataan. • Bila memegang kekuasaan, kekuasaan itu akan sampai pada pengayoman. • Kalau menjadi perwakilan, maka perwakilannya akan sampai kepada amanat. • Bila memegang hukum (jaksa / hakim), maka akan sampailah kepada keadilan. • Kalau penataran, penatarannya akan sampai kepada ketauladanan. Ini semua akan terbukti kalau memang budi pekertinya baik. Tapi bila akhlaqnya atau budi pekertinya tidak baik maka : • Ilmunya tidak sampai pada kearifan. • Ekonominya tidak sampai pada pemerataan, walaupun dikatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangankan sampai seluruh rakyat Indonesia, tetangganya saja tidak dihiraukan. • Pemerintahannya tidak sampai pada pengayoman. • Perwakilannya tidak sampai pada amanat. • Hukumnya tidak sampai pada keadilan, hanya kantornya saja yang berlebel kantor keadilan, namun isinya dagangan (perkara dibuat dagangan, ditawarkan berani berapa kamu?. Bila kamu berani sekian, maka akan saya bebaskan). • Penatarannya tidak sampai pada keteladanan. • Politik tidak sampai pada peraturannya. Wal hasil semuanya tidak ada manfaatnya sama sekali kalau hatinya tidak berisi akhlaq makarimah. Dan negarapun hukumnya tidak akan bisa menjadi KHUKUUMAN ROOSYIDA. Juga banyak pencaplok-pencamplok, pengemis-pengemis (bukan pengemis yang tidak punya uang). Yang mana dalam Joyo Boyo Babat telah lambangkan dengan istilah jaman edan. Sebenarnya yang edan itu bukan jamannya tapi orangnya. Selanjutnya dalam Joyo Boyo diterangkan : Bila ikut edan tidak jadi dandanan, tidak ikut edan tidak kebagian (karena dicuri oleh yang edan-edan). Edan (gila) itu ada yang gila pangkat, gila harta benda. Makanya (lanjutan Joyo Boyo) : Ewuh oyo ing pambudi. Ewuh itu sulit, oyo ing pambudi itu pekerjaan. Tilahi wong cilik koyok gabah den interi, golong-golong ngalor, golong-golong ngidul, sing ngulon ngetan, sing ngetan ngulon, tempuk dadi siji nok tengah. (Keadaan rakyat kecil seperti gabah diputar, bergolong-golong ke Utara, bergolong-golong ke Selatan, yang di Barat ke Timur, yang di Timur ke Barat, akhirnya bertemu jadi satu ditengah). Bila sudah bertemu ditengah, jadilah tabrakan atau demo. Itulah jaman edan dan didalam jaman edan itu ada : Titit tuit damar mati muliho, kodok lungguh dinglik sabuk nekel gak duwe duwek, tanah Jowo dibagi, wong Jowo kari separoh, Cino kari sak jodo, Londone ora kanggo. Apa orang Jawa habis ? Tidak, orang Jawa malah banyak. Tapi mengapa dikatakan tinggal separoh ?.Karena yang separohnya bento (gila). Cinanya kok disebut tinggal sejodoh, apa habis?. Tidak, hanya saja jadi W.N.A / W.N.I. Mengapa disebut : Belandanya tidak berguna?. Karena Belandanya sudah tidak menjajah, tapi sifat penjajahannya itu masih merata, banyak adu domba. KEUTAMAAN AKHLAQUL KARIMAH. Ada salah seorang shohabat bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w, wahai Nabi si A itu ibadahnya tekun, wiridannya tekun, tahajutnya juga rutin akan tetapi budi pekertinya jelek, dengan tetangganya saja dia tega, itu bagaimana Nabi ? Jawaban Nabi Muhammad : Dia itu calon penghuninya neraka. Padahal dia itu sholat, tapi kok menjadi penghuninya neraka ?. Sebab dengan tetangganya tidak baik, mudah su'udlon. Dilirik saja sudah su'udlon (dikira karena sebab lirikan itu dagangannya tidak laku). Bila benar berarti orang yang melirik itu hebat, dilirik saja dagangannya bisa nggak laku apalagi bila dipandang, terlebih lagi bila dimasuki rumahnya. Sakit sedikit merasa disantet. CINTA JASMANI ROHANI Dalam mengamalkan dzikir ada yang menggunakan cara/thoreqat, yang mengamalkan dzikirnya selain diucapkan dengan bibirnya, juga diisikan didalam ingattannya, sehingga memperoleh kemantapan dan rasa meresap kedalam hati maknawi, hati sirri – iman. Menurut Imam Al-Ghazali, HAKIKAT INSAN /maknawi-siiri-Iman / latifah , juga tempat jumpanya ma’rifat kepada Allah dan juga wadahnya NUR ILLAHI, sehingga disitulah dianugrahi Mukasyafah dan Musyahadah. Dalam Hadist Hadist Qudsi : Artinya: “Firman Allah, AKU jadikan pada anak Adam(manusia) itu ada istana, disitu ada dada, didalam dada itu ada qalbu(tempat bolak balik ingatan), didalamnya lagi ada fuad(jujur ingatannya), didalamnya pula adasyagof(kerinduan),juga didalamnya ada lubbun(merasa terlalu rindu), dan didalamnya ada sirrun(merasa mesra) didalam itulah ada AKU” Kemudian diterangkan pula dalam hadist lainnya, yang erat hubungannya dengan hadist qudsi tersebut diatas, sebagai berikut: Artinya:”Manusia itu rasa KU, dan AKU dirasakan manusia”. Uraian hadist tersebut menunjukkan bahwa manusia harus melakukan ibadah kepada Allah SWT, dengan keadaan lurus dan terarah sehingga tembus dari mulai kulit sampai isi. Jadi bukan hanya kulitnya saja yang disebut yang disebut sadrun/dada jasmani manusia semata, dan begitu juga bukan hanya isinya saja yang disebut sirrun/rasa, tetapi kedua-duanya harus dihadapkan kepada Allah SWT baik diwaktu Hablumminalloh maupun di waktu Hablumminannaas agar lebih lengkap dan sempurna. Sesuai dengan ucapan Ulama Tasawwuf Syekh Zainuddin bin Ali Al Malibari dalam kitabnya Al Azkiya: Artinya;”Melakukan syari’at tanpa hakikat adalah kosong tidak berisi, sebaliknya melakukan hakikat tanpa syri’at adalah bathal” Demikian juga ucapan Imam Al Ghazali ;”bahwa ilmunya pun harus lengkap”. Artinya:” Siapa orang yang berfiqih saja tanpa tasawwuf adalah fasik, sebaliknya orang-orang bertasawwuf tanpa fiqih adalah zindik, dan siapa orang yang berfiqih dan bertasawwuf maka sesungguhnya adalah benar”. Jadi untuk itu, demi kesempurnaan mengabdi kepada Allah SWT, agar kedua-duanya dipergunakan sebagaimana mestinya. Demikian seseorang Mukmin yang Muttaqien melaksanakan isi Al-Qur’an, sebagaimana sabda Nabi: Artinya:” Sesungguhnya petunjuk Al-Qur’an itu meliputi zahir bathin”. Sebagaimana diuraikan didalam hadist qudsi tersebut diatas, bahwa di dalam dada ada lima rongga, yaitu Kalbu,Fuad,Syagof,Lubbun dan Sirrun, yang kesemuanya it uterus menerus dilintasi oleh godaan syetan dan bujukan nafsu. Oleh karena itu manusia yang mengharapkan kebahagian dan kesejahteraan lahir bathin harus sanggup dan terus berusaha untuk membendung godaan-godaan syetan dan bujukan nafsu dalam rangka mewujudkan dan mengokohkan ibadah kepada Allah SWT, pada khususnya dan beramal baik dengan sesame manusia pada umumnya. Dalam hal ini, didalam ilmu tasawwuf yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist harus benar-benar menggunakan thoreqat atau metode, agar berhasil dengan baik dan tepat mengenai sasaran, apakah itu yang diucapkan dan dilakukan(amalan badan jasmani), demikian juga yang diingatkan yang dimulai dari qolbun sampai ketingkat sirrun (amalan badan ruhani). Didalam rasa mesra itulah tempat wusulnya manusia kepada Allah, disitulah tempat rasa syukur manusia atas nikmat yang diperoleh dari Allah Yang Maha Pengasih, disitu pulalah tempat sabarnya manusia terhadap musibah dari Allah SWT. Juga disitulah tempat rasa kasih sayang dan tolong menolong serta rasa maaf me-maafkan dengan sesama manusia, dan disitulah tempat rasa Mahabbah kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan disitulah tempat terbukanya hijab antara abid dengan ma’bud dan disitu juga adanya rasa setia, patuh dan rela mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan rela menjauhi apa-apa yang dilarangnya(taqwa). Jadi kesimpulannya bahwa eseorang Mukmin yang Muttaqien telah terisi rasa cintanya merembes mengalir pada gerak kegiatannya, baik zahir maupun bathinnya selalu dipersembahkan serta diserahkan sepenuhnya kepada Allah Jalla Jalaahu. Hal ini sebagaimana sebuah ayat Allah yang selalu kit abaca setiap melaksanakan sholat fardlu maupun sholat sunnat dalam do’a iftitah. Artinya:”Sesungguhnya sholatku,ibadatku, hidup dan kehidupanku, serta matiku, kami serahkan semuanya kepada Allah SWT”. Demikianlah sekedar uraian yang dapat kami sampaikan, semoga semua penjelesan-penjelasan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Aamiin. STRUKTUR DIRI MANUSIA Sesungguhnya kita manusia itu sejatinya dalam satu diri yang kasat mata ini, juga Allah ‘letakkan’ diri yang lain yang tak-kasat mata. Ia adalah yang kita sebut “diri batin”. Sedang yang kasat mata ini disebut “diri lahir” kita. Diri batin Allah ciptakan dengan bahan dasarnya dari cahaya-Nya, sedangkan diri lahir Dia ciptakan dari bahan dasar material dasar penyusun bumi, yaitu air, udara, tanah dan api. Kedua diri tersebut masing-masing juga memiliki kesadaran serta kelengkapan ‘indera’. Allah menciptakan yang sejatinya manusia itu adalah diri batinnya, sebab ‘kesadaran’ diri batin meliputi kehidupan saat di Alam ‘Alastu’ seperti yang Allah nyatakan dalam (QS.Al-A’raaf[7]:172), kemudian alam rahim ketika diri lahir kita dalam fase pertumbuhan dari zygot hingga bayi. Kemudian ketika diri lahir mengalami kehidupan alam dunia ini diri batin pun menyertainya. Ketika nanti diri lahir kita ajal dan dikembalikan ke bumi, diri batin kita melanjutkan kehidupan di alam kubur/barzakh. Setelah itu kehidupan di Padang Mahsyar, lalu kehidupan Akhirat.” Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A’raaf[7]:172) Kesadaran kedua diri tersebut berbeda. Itu dikarenakan ada 2 ciptaan/makhluk yang memang berbeda., Contoh yang mudah untuk merasakan kesadaran kedua ‘diri’ tersebut adalah ketika kita mengalami peristiwa nglindur saat tidur. Saat kita nglindur, kesadaran kita mengalami 2 kesadaran pada saat yang sama. Satu kesadaran mengerti bahwa kita sedang berada di tempat kita tidur, dan kesadaranlainnya lagi merasa kita di skenario mimpi. Contoh yang lain lagi adalah pada orang-orang shiddiqqin atau yang tingkat diri batinnya sama atau lebih tinggi dari ‘shiddiqqin’. Pada tingkat diri batin seperti mereka, kesadaran lahirnya mampu -seizin Allah- melakukan dialog/komunikasi dengan diri batinnya. Kedua diri tersebut bisa berkomunikasi. Apakah maksud Allah menciptakan manusia dengan struktur seperti itu? Dari riwayat yang mashur di kalangan ulama Tashawuf dikatakan bahwa Allah itu menciptakan kita (manusia) agar Dia kita kenali. Nah, agar pengenalan kita mencapai intensitas yang tertinggi maka Allah buat struktur-diri kita seolah-olah mirip Dia yang juga memiliki ‘aspek batin dan lahir/dhohir’ Aspek batin Allah lebih kompleks daripada aspek lahirnya, maka demikian pula diri batin kita Allah ciptakan juga lebih kompleks dibandingkan dengan diri lahir kita.. Sudah seharusnya kesadaran maupun tindakan keduanya itu bersatu dalam mengabdi kepada Allah. Proses perjuangan menyatukan kedua diri ini yang disinyalir oleh Rasulullah saw sebagai “Jihad Akbar” (Perjuangan Yang Besar). Dalam hidup kita yang sebentar di dunia ini, seharusnya Perjuangan Yang Besar inilah yang kita prioritaskan paling utama, karena kalau kita Allah izinkan memenangkan perjuangan tersebut, Insya Allah status Haqqatu Qattihi (taqwa yang sejatinya taqwa) Allah sematkan kepada kita. Dan kalau kita menjadi hamba-Nya yang taqwa sejati, maka di mata Allah kita adalah orang mulia. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Semoga kita bisa mengambil manfaat.. MELEBUR DALAM KEHENDAK ALLAH Ketika seorang hamba Allah mengalami kesulitan dalam hidupnya, maka pertama-tama ia coba mengatasinya dengan usahanya sendiri. Bila gagal ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada pemimpin, penguasa, si kaya. atau bila dia sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan berdo'a kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian. Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia takkan berpaling kepada sang Khaliq. Kemudian bila tak juga memperoleh pertolongan dari Allah, maka dipasrahkannya dirinya kepada Allah, dan terus demikian, mengemis, berdo'a merendah diri, memuji, memohon dengan harap-harap cemas. Namun, Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa membiarkan ia letih dalam berdo'a dan tak juga mengabulkannya, hingga ia sedemikian kecewa terhadap segala sarana duniawi. Maka atas kehendak-Nya menjadikan harus melaluinya, dan hamba Allah ini berusaha meninggalkan segala sarana duniawi, segala aktivitas dan upaya duniawi, dan bertumpu pada rohaninya. Pada tahapan ini, tak terlihat olehnya, selain kehendak Allah Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan sampailah dia pada Keesaan Allah, pada peringkat haqqul yaqin (* tingkat keyakinan tertinggi yang diperoleh setelah menyaksikan dengan mata kepala dan mata hati). Bahwa pada hakekatnya, tiada yang melakukan segala sesuatu selain Allah; tak ada yang menggerakkan tak pula menghentikan, selain Dia. tak ada kebaikan, kejahatan, tak pula kerugian dan keuntungan, tiada faedah, tiada memberi tiada pula menahan, tiada awal, tiada akhir, tak ada kehidupan dan kematian, tiada kemuliaan dan kehinaan, tak ada kekayaan dan kemiskinan, selain karena ALLAH. Maka di hadapan Allah, ia bagai bayi di tangan perawat, bagai mayat dimandikan, dan bagai bola di tongkat pemain golf, berputar dan bergulir dari keadaan ke keadaan, dan ia merasa tak berdaya. Dengan demikian, ia lepas dari dirinya sendiri, dan melebur dalam kehendak Allah. Sesungguhnya Allah lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman, perasa, gerak gerik ataupun diamnya. Allah lebih dekat dari hidupnya sendiri. Maka tak ada yang dilihatnya selain Tuhannya dan kehendak-Nya, tak ada yang didengar dan tak dipahaminya, kecuali Ia. Jika melihat sesuatu, maka sesuatu itu adalah kehendak-Nya; bila ia mendengar atau mengetahui sesuatu, maka ia mendengar firman-Nya, dan mengetahui lewat ilmu-Nya. Maka terkurniailah dia dengan kurnia-Nya, dan beruntung lewat kedekatan dengan-Nya, dan melalui kedekatan ini, ia menjadi mulia, ridha, bahagia, dan puas dengan janji-Nya, dan bertumpu pada firman-Nya. Ia merasa enggan dan menolak segala selain Allah, ia rindu dan senantiasa mengingati-Nya; makin mantaplah keyakinannya pada-Nya, Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa. Ia bertumpu pada-Nya, memperoleh petunjuk dari-Nya, berbusana nur ilmu-Nya, dan termuliakan oleh ilmu-Nya. Yang didengar dan diingatnya adalah dari-Nya. Maka segala syukur, puji, dan sembah tertuju kepada-Nya. PUASA HAKEKAT Puasa syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa kerohanian selain yang demikian ditambah lagi memelihara pancaindera dan fikiran dari perkara-perkara yang keji. Ia adalah melepaskan segala yang tidak sesuai, lahir dan batin. Rusak sedikit saja niat mengenainya rusaklah puasa rohani. Puasa syariat terikat dengan masa sementara puasa rohani selalu di dalam kehidupan sementara ini dan kehidupan abadi di akhirat. Inilah puasa yang sebenarnya. Nabi s.a.w bersabda, “Banyak orang yang berpuasa tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Puasa syariat ada waktu berbuka tetapi puasa rohani berjalan terus walaupun matahari sudah terbenam, walaupun mulut sudah merasakan makanan. Mereka adalah yang menjaga pancaindera dan pikiran bebas dari kejahatan dan yang menyakiti orang lain. Untuk itu Allah telah berjanji, “Puasa adalah amalan untuk-Ku dan Aku yang membalasnya”. Mengenai dua jenis puasa itu Nabi s.a.w bersabda, “Orang yang berpuasa mendapat dua kesukaan. Pertama bila dia berbuka dan kedua bila dia melihat”. B agi Orang yang hanya mengerti agama secara lahir mengatakan kesukaan yang pertama itu ialah kesukaan ketika berbuka puasa dan ‘kesukaan apabila mereka melihat’ itu ialah melihat awal bulan Syawal yang menandakan hari raya. Orang yang mengetahui makna batin bagi puasa mengatakan kesukaan berbuka puasa ialah apabila seseorang yang beriman itu masuk syurga dan menikmati balasan di dalamnya, dan kesukaan yang lebih lagi ialah ‘apabila melihat’, yang bermaksud apabila orang yang beriman melihat Allah dengan mata rahasia bagi hati. LAA ILAHA ILALLOH Lebih berharga dari dua jenis puasa itu ialah puasa yang sebenarnya (puasa hakikat), yaitu mencegah hati dari menyembah sesuatu yang lain dari Zat Allah. Ia dilakukan dengan mata hati buta terhadap semua wujud, walaupun di dalam alam rahasia di luar dari alam dunia ini, melainkan kecintaan kepada Allah, kaana walaupun Allah menjadikan segala-galanya untuk manusia, Dia jadikan manusia untuk-Nya, dan Dia berfirman: “Insan adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya”. Rahasia itu ialah cahaya daripada cahaya Allah Yang Maha Suci. Ia adalah pusat di jantung hati, dijadikan dari sejenis jisim yang amat unik. Ia adalah roh yang mengetahui segala rahasia-rahasia yang haq. Ia adalah yang menghubungkan rahasia di antara yang dicipta dengan Pencipta. Rahasia itu tidak cenderung dan tidak mencintai sesuatu yang lain daripada Allah. Tidak ada yang lebih berharga untuk di-ingini, tiada yang dikasihi di dalam dunia ini dan di akhirat, melainkan Allah. Jika satu zarah saja dari sesuatu memasuki hati selain kecintaan kepada Allah, maka batallah puasa hakikat. Seseorang perlu memperbaharuinya, menghadapkan segala kehendak dan niat kembali kepada kecintaan-Nya, di sini dan di akhirat. Firman Allah, “Puasa adalah untuk-Ku dan hanya Aku yang membalasnya”. Ini sedikit rahasia Laa Ilaha Ilalloh. Laa Ilaha, tidak ada wujud apapaun.. Ilalloh, hanya Wajibal Wujud, Allah CINTA JASMANI ROHANI Dalam mengamalkan dzikir ada yang menggunakan cara/thoreqat, yang mengamalkan dzikirnya selain diucapkan dengan bibirnya, juga diisikan didalam ingattannya, sehingga memperoleh kemantapan dan rasa meresap kedalam hati maknawi, hati sirri – iman. Menurut Imam Al-Ghazali, HAKIKAT INSAN /maknawi-siiri-Iman / latifah , juga tempat jumpanya ma’rifat kepada Allah dan juga wadahnya NUR ILLAHI, sehingga disitulah dianugrahi Mukasyafah dan Musyahadah. Dalam Hadist Hadist Qudsi : Artinya: “Firman Allah, AKU jadikan pada anak Adam(manusia) itu ada istana, disitu ada dada, didalam dada itu ada qalbu(tempat bolak balik ingatan), didalamnya lagi ada fuad(jujur ingatannya), didalamnya pula adasyagof(kerinduan),juga didalamnya ada lubbun(merasa terlalu rindu), dan didalamnya ada sirrun(merasa mesra) didalam itulah ada AKU” Kemudian diterangkan pula dalam hadist lainnya, yang erat hubungannya dengan hadist qudsi tersebut diatas, sebagai berikut: Artinya:”Manusia itu rasa KU, dan AKU dirasakan manusia”. Uraian hadist tersebut menunjukkan bahwa manusia harus melakukan ibadah kepada Allah SWT, dengan keadaan lurus dan terarah sehingga tembus dari mulai kulit sampai isi. Jadi bukan hanya kulitnya saja yang disebut yang disebut sadrun/dada jasmani manusia semata, dan begitu juga bukan hanya isinya saja yang disebut sirrun/rasa, tetapi kedua-duanya harus dihadapkan kepada Allah SWT baik diwaktu Hablumminalloh maupun di waktu Hablumminannaas agar lebih lengkap dan sempurna. Sesuai dengan ucapan Ulama Tasawwuf Syekh Zainuddin bin Ali Al Malibari dalam kitabnya Al Azkiya: Artinya;”Melakukan syari’at tanpa hakikat adalah kosong tidak berisi, sebaliknya melakukan hakikat tanpa syri’at adalah bathal” Demikian juga ucapan Imam Al Ghazali ;”bahwa ilmunya pun harus lengkap”. Artinya:” Siapa orang yang berfiqih saja tanpa tasawwuf adalah fasik, sebaliknya orang-orang bertasawwuf tanpa fiqih adalah zindik, dan siapa orang yang berfiqih dan bertasawwuf maka sesungguhnya adalah benar”. Jadi untuk itu, demi kesempurnaan mengabdi kepada Allah SWT, agar kedua-duanya dipergunakan sebagaimana mestinya. Demikian seseorang Mukmin yang Muttaqien melaksanakan isi Al-Qur’an, sebagaimana sabda Nabi: Artinya:” Sesungguhnya petunjuk Al-Qur’an itu meliputi zahir bathin”. Sebagaimana diuraikan didalam hadist qudsi tersebut diatas, bahwa di dalam dada ada lima rongga, yaitu Kalbu,Fuad,Syagof,Lubbun dan Sirrun, yang kesemuanya it uterus menerus dilintasi oleh godaan syetan dan bujukan nafsu. Oleh karena itu manusia yang mengharapkan kebahagian dan kesejahteraan lahir bathin harus sanggup dan terus berusaha untuk membendung godaan-godaan syetan dan bujukan nafsu dalam rangka mewujudkan dan mengokohkan ibadah kepada Allah SWT, pada khususnya dan beramal baik dengan sesame manusia pada umumnya. Dalam hal ini, didalam ilmu tasawwuf yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist harus benar-benar menggunakan thoreqat atau metode, agar berhasil dengan baik dan tepat mengenai sasaran, apakah itu yang diucapkan dan dilakukan(amalan badan jasmani), demikian juga yang diingatkan yang dimulai dari qolbun sampai ketingkat sirrun (amalan badan ruhani). Didalam rasa mesra itulah tempat wusulnya manusia kepada Allah, disitulah tempat rasa syukur manusia atas nikmat yang diperoleh dari Allah Yang Maha Pengasih, disitu pulalah tempat sabarnya manusia terhadap musibah dari Allah SWT. Juga disitulah tempat rasa kasih sayang dan tolong menolong serta rasa maaf me-maafkan dengan sesama manusia, dan disitulah tempat rasa Mahabbah kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan disitulah tempat terbukanya hijab antara abid dengan ma’bud dan disitu juga adanya rasa setia, patuh dan rela mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan rela menjauhi apa-apa yang dilarangnya(taqwa). Jadi kesimpulannya bahwa eseorang Mukmin yang Muttaqien telah terisi rasa cintanya merembes mengalir pada gerak kegiatannya, baik zahir maupun bathinnya selalu dipersembahkan serta diserahkan sepenuhnya kepada Allah Jalla Jalaahu. Hal ini sebagaimana sebuah ayat Allah yang selalu kit abaca setiap melaksanakan sholat fardlu maupun sholat sunnat dalam do’a iftitah. Artinya:”Sesungguhnya sholatku,ibadatku, hidup dan kehidupanku, serta matiku, kami serahkan semuanya kepada Allah SWT”. Demikianlah sekedar uraian yang dapat kami sampaikan, semoga semua penjelesan-penjelasan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Aamiin. KESABARAN DALAM DO’A Janganlah engkau putus asa karena tertundanya pemberian, padahal engkau telah mengulang-ulang doa. Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada saat yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau ingini. ( al – hikam) Di antara syarat diterimanya doa adalah apabila dilaksanakan dengan penuh harapan dan tidak berputus asa. Belum terkabulnya doa seorang hamba, padahal ia telah berulang-ulang berdoa jangan sampai menjadikannya putus asa, karena Allah berfirman, ”Berdoalah kalian kepada-Ku maka Aku akan mengabulkanmu.” (Al Mu'min/Ghofir: 60) Allah SWT. akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Namun demikian, terkabulnya doa tidaklah terikat dengan kemauan si hamba akan tetapi lebih terikat dengan kehendak dan rencana Allah. Karena Allah Maha Mengetahui akan kondisi hamba-hamba-Nya; terkadang Allah menolak permintaan seorang hamba, karena memang yang terbaik adalah tidak terkabulnya doa itu. Dalam konteks ini, ketika Allah menolak suatu doa sebenarnya secara tersirat memberi, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Atha’, ”Ketika Allah menolak sebuah permintaan sebenarnya memberi dan ketika memberi sebenarnya menolak.” Untuk memperkuat pandangan ini, simaklah ayat berikut ini, ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216) Penolakan Allah dalam merealisasikan suatu doa, mempunyai substansi pemberian yang tepat bagi manusia. Demikian juga, Dia mengabulkan sebuah doa pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau tentukan. Jadilah seperti Musa yang sabar, karena sabar dan tidak tergesa-gesa merupakan sifat yang utama bagi seorang hamba. Simaklah kisah Musa dan Harun yang berdoa agar Fir’aun dan kaumnya beriman kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, ”Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau.” (Yûnus: 88) Sampai akhir ayat yang mengisahkan tentang permohonan Musa dan Harun agar kaumnya beriman kepada Allah, dan ternyata permohonan itu baru dikabulkan setelah empat puluh (40) tahun berlalu, sebagaimana firman Allah berikutnya, ”Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu teteplah kalian berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Yûnus: 89) Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Sesungguhnya Allah menyukai kesabaran dalam doa.” Juga dalam hadits lain disebutkan, ”Sesungguhnya hamba yang shaleh apabila berdoa kepada Allah, malaikat Jibril berkata: Wahai Tuhanku, hamba-Mu fulan telah berdoa, maka kabulkanlah. Kemudian Allah berfirman: Berdoalah wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku senang mendengar suaramu.” Demikianlah, tata krama dalam berdoa yang telah ditunjukkan oleh Allah agar menjadi pedoman bagi umat Islam. Terkadang Allah mengabulkan atau mengganti dengan hal lain yang notabene merupakan kebaikan dan tambahan yang lebih baik. 104 KITAB SUCI ( BISMILLAH-1) RAHASIA DAN INTI KITABULLOH DI¬DALAM BISMILLAHIRROHMAANIRROHIIM Dasar mengungkap rahasia Bismillahir¬rohmaanirrohiim, Shohabat Abi Dzar Al Ghifari tanya kepada Nabi Muhammad SAW : YAA ROSULULLOH, KAM AN-ZALALLOHU MIN KITAABIN, QOOLA MI-ATU KITAABIN WA-ARBA'ATU KUTUBIN. Kitab yang diturunkan dari langit ada 104 kitab. Kitab-kitab Alloh 104 kitab itu diturunkan kepada: 1. Nabiyulloh Syits AS 50 kitab. 2. Nabiyulloh Idris AS 30 kitab. 3. Nabiyulloh Ibrohim AS 10 kitab. 4. Nabiyulloh Musa AS , sebelum Taurot 10 kitab. 5. Turun kepada Nabiyulloh Musa AS satu kitab Taurot. 6. Turun kepada Nabiyulloh Dawud AS satu kitab Zabur. 7. Turun kepada Nabiyulloh Isa AS satu kitab Injil. 8. Turun kepada Nabiyulloh Muhammad SAW satu kitab Al Qur'an. Kalau dijumlah 50 + 30 + 10 + 10 + 1 + 1 + 1 + 1 = 104, itu kitab yang diturunkan dari langit pada para Nabi-Nabi semuanya. Kitab-kitab itu semuanya turun didalam bulan Romadlon, seperti disebutkan didalam Hadits yang artinya : " Suhuf Ibrohim AS 10 kitab, turun ditanggal 1 malam Bulan Romadlon. Kitab Taurot turun pada Nabi Musa AS di tanggal 6 malam Bulan Romadlon. Kitab Zabur turun pada Nabi Dawud AS ditangggal 12 malam bulan Romadlon, Kitab Injil turun pada Nabi Isa ditanggal 18 malam bulan Romadlon, Kitab AL Qur'an turun pada Nabi Muhammad SAW ditanggal 27 malam bulan Romadlon". "Jarak turunnya shuhuf Ibrohim dan kitab Taurot 700 tahun, Antara kitab Taurot (Musa AS )dan Zabur ( Dawud AS ) jaraknya 500 tahun. Antara kitab Zabur dan Injil pada Nabi Isa AS jaraknya 1200 tahun, kitab Injil dan Al Qur'an 620 tahun". Kitab 104 itu, yang 103 maknanya diringkas / diperas dikitab Al Qur'an. ROSUULUM MINALLOOHI YATLUU SHUHUFAM MUTHOH-HAROH, FIIHAA KUTUBUNG QOYYI MAH. Al Qur-an diperas lagi intinya didalan surat al Fatihah, maka kemudian Rosululloh dawuh : MAN QORO'A FATIHATUL KITAAB FAKA-ANNAMAA QORO'AT TAUROOTA WAL INJIILA WAZ-ZABUURO WAL QUR-ANA. Artinya: " Maka barang siapa yang membaca Fatihah sama halnnya dengan membaca Taurot, Zabur, Injil dan Al Qur''an ". Jadi maknanya semua kitab-kitab itu terkumpul didalam surat Al Fatihah. Surat Al Fatihah diperas lagi didalam : • Jadi 103 kitab itu diperas di Al Qur'an. • Al Qur'an intinya termuat di surat Al Fatihah. • Dan surat al Fatihah diperas lagi, intinya didalam: Bismillahir¬rohmaanirrohiim * Bersambung.. RAHASIA BISMILLAH Di sini akan kami sampaikan sebagian dari rahasia Bismillah. Rahasia-rahasia Bismillah disini tidak diterangkan secara fullgar, dikarenakan aturannya memang demikian. Untuk itu harap di renungkan masing-masing. Bacanya pelan-pelan saja, kalau perlu di ulang-ulang. Jangan lupa berdo’a dulu. RAHASIA BISMILLAH KE SATU ( BA' ADALAH HUD-HUDA ) Padahal begitu banyaknya huruf yang ada di dalam Al Qur-an, mengapa di awali dengan huruf ( ba') ?. Huruf ba' itu adalah hud-huda, makanya Nabi Sulaiman menulis surat isinya adalah BISMILLAHIRROH-MAANIR¬¬ROHIIM. Seperti disebutkan didalam Al Qur-an : INNAHU MIN SULAIMANA WA INNAHU BIS¬MILLAHIR¬ROH¬MAANIR¬¬ROHIIM.( An Naml 29-30) - Yang disuruh membawa adalah burung Hud-huda ke raja Bulqis. - Ratu Bulqis takluk karena BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM tidak usah di boom. RAHASIA BISMILLAH KE DUA ( CARA MENAKLUKKAN JIN ) Kalau kita membaca BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM sampai 1000 kali, sedang yang membaca itu hanya kurungannya saja ( sangkarnya saja, ya tidak apa-apa) . Sekarang burungnya kemana ? Ya tersebar, burungnya itu adalah orang banyak itu. Ada yang membaca BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM 5000 kali tetapi tidak berhasil-berhasil, diulangi lagi tambah tidak disapa, itu sebabnya tidak tahu rahasianya. Kalau tahu rahasiannya ( Ba' ) maka akan jadi BAQO' (langgeng). Yang langgeng yang mana ?. Pada diri kita itu ada yang langgeng yaitu hud-huda. Kalau tahu rahasianya ( ba' ), kalau membaca BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM baru sampai pada ARROHMAN saja sudah diberikan apa yang diminta, sebab yang membaca itu burungnya bukan sangkarnya. Kalau tahu rahasianya huruf ba' baru akan diterangkan cara mengamalkanya. RAHASIA BISMILLAH KE TIGA ( TANPA BISMILLAH SEGALA AMAL PUTUS ) Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa : QOLA ROSULULLOH SHOLLALLOHU 'ALAIHI WASALAM : KULUU AMRIN DZIIBAALIN LAA YUBDA-U FIIHI BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM FAHUWAA AQTHO'U ( Jami'ush-shoghir/jilid/II/ kaf/153 ). Kalau menurut kitab Fiqih tidak membaca bismillahirrohmanirrohiim itu namanya sedikit barokahnya, akan tetapi kalau menurut Tashawwuf adalah bajingan tengik ( tahu sendiri bahwa Tshowwuf itu sangat keras ). BISMILLAH maknanya " Dengan nama Alloh " yang membuat langit bumi, bintang-bintang, manusia, kaki, tangan, telinga, dll. Semunya adalah milik Alloh. LILLAHI MAA FIS-SAMAWAATI WAMAA FIL ARDHI. Kita tidak ikut punya, oleh sebab itu kalau akan mengerjakan sesuatu harus minta ijin kepada yang punya / memiliki. BISMILLAH adalah atas nama Alloh, jangan atas nama dirinya sendiri, bukan atas nama Malaikat, syaithon, jin tetapi atas nama penguasanya, pemiliknya, yaitu Alloh. Kalau tidak atas nama Alloh gobras-gabrus saja itu namanya bajingan dan hukumnya dipotong tangannya. Tanpa asma Alloh itu sudah putus, itu adalah maling ruhaniyyah. Ini rahasia. Jadi kufur masalah tauhid. RAHASIA BISMILLAH KE EMPAT ( RAHASIA HURUF (BA') ) BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM itu asalnya ISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM kemudian ditambah ba'. I SMI : asma. ALLOH : asma. ARROHMAN : asma. ARROHIIM : asma. ISMI itu ditambah ba' menjadi BISMI artinya: "dengan asma-asma". Kalau begitu apa tidak cukup dengan BILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM ? soalnya BIL¬LAHIR¬ROH¬MAANIR¬¬ROHIIM sudah asma-asma. BILLAH maknanya " demi Alloh ". ( ba') itu huruf jer (ISMI) : di jerkan / di kasrohkan dengan huruf BA'. pekerjaannya BA' itu mengkasrohkan / menundukkan. Kalau tahu rahasia BA' mudah menundukkan, soalnya pekerjaanya mengejerkan. Rosul pernah bersabda : " Alloh punya Ismul Akbar, lalu shohabat tanya dimana rosul letak Ismul Akbar itu ?Jawab Rosul: Ismul Akbar itu dekat dengan BISMILLAH seperti dekatnya putihnya mata dengan hitamnya." Kita angan-angan ! Tinggal mencari disitu Ismul A'dhom. Dimana letaknya ? Sangat dekat. Kalau sudah tahu, apa yang kita minta di ijabahi. IDZAA DA'AA BIHI 'IJABAA " Ketika minta di ijabahi " Makanya kerajaan Bulqis sekejap mata di datangkan di hadapan Nabi Sulaiman AS. Yang mendatangkan ya orang yang sudah mengetahui Ismul A'dhom. Secara dongengannya, katanya patih Asif. Siapa patih Asif ? Itu rahasia semua menemukan itu sulit. RAHASIA BISMILLAH KE LIMA (RAHASIA BAROKAH DAN ROHMAT) Sama dengan BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM. QOOLA ROSULULLOHI SOLLALLOHU 'ALAIHI WASSALAAM. KULLU AMRIN DZIIBALIN LAA YUBDA-U BISMILLAAHIR ROHMAANIRROHIIM FAHUWA AQTHO'U. an Abi huroiroh / rowahu Abdul Qodir. Jaami'ush Shoghir/ II / Kaf / 153. Bersabda Rosululloh SAW. " Segala urusan yang bertujuan baik yang tidak di awali dengan BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM putus ". Menurut Hadits ini : Segala tindakan yang bertujuan baik, apa mau mencangkul, makan, pergi, menanam kalau tidak di awali dengan BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM putus. Hadits ini persoalan besar, kalau tidak di ungkap tidak tahu, putus dari apa? 1. Pekerjaan yang di kerjakan putus dari Rohmat Alloh. 2. Putus dari Barokah Alloh. Dan segala pekerjaan yang disitu sudah putus, kosong dari Barokah dan Rohmat Alloh, semuanya jadi Balak. RAHASIA BISMILLAAH KE-ENAM (TEM-PATNYA ISMUL A'DHOM). Dalam Kisah Nabi Sualaiman ( akan kami dterangkan terpisah) ada seorang dari sisi Nabi Sulaiman sanggup memabwa singgasana Ratu Bulqis dalam sekejab : QOOLAL LADZI 'INDAHU 'ILMUN MINAL KITAABI ANAA -ATIIKABIHI QOBLA AN YARTADDA ILAIKA THORFUKA, FALAMMAA ROaaHU MUSTAQIRRON 'INDAHUU QOOLA HAADZAA MIN FADHLI ROBBII LIYABLUWANII a ASYKURU AM AKFURU WAMAN SYAKARO FA-INNAMAA YASY-KURU LINAFSIHI, WAMAN KAFARO FAINNA ROBBII GHONIYYUN KARIIM ( Surat An Naml ayat :40 ). Artinya : " Berkata seseorang yang mempunyai ilmu dari kitab, saya bisa membawanya kepadamu dalam sekejab mata. Tatkala Nabi Sulaiman a.s mengetahui tahta kerajaan itu tetap dihadapannya (waktu itu Ratu Bulqis berada didalamnya), Nabi Sulaiman a.s berkata: " Inilah karunia Tuhanku untuk mencobai diriku apakah aku menjadi orang yang bersyukur atau kufur, barang siapa yang bersyukur maka ia bersyukur kepada dirinya sendiri, maka barang siapa yang kafir maka Tuhanku itu Maha Kaya lagi pemurah". Disitu disebutkan rahasianya " INDAHU ' ILMU MIN KITAAB " yaitu bisa mendatangkan kerajaan Bulqis dalam sekejab mata. Akan tetapi orangnya tidak disebutkan namanya. Dia juga yang bisa mengungguli jin Ifrith. Nabiyulloh yang dituruni ayat BISMILLAHIR¬ROH¬MAANIR¬¬ROHIIM cuma 2, yaitu: 1. Nabiyulloh Sulaiman AS. 2. Nabiyulloh Muhammad SAW. Sedang asma Tuhan itu jumlahnya ada 100, yang satu disebut ISMUL A'DHOM / ISMUL KABIIR, nama itu adalah ghoib tidak disebutkan (ditunjukkan). Barang siapa yang tahu satu asma itu saja sebelum meminta masih krentek saja sudah diberikan. Lalu shohabat Usman bertanya kepada Rosululloh, dimana letaknya ISMUL KABIIR itu? Mengenai asma Tuhan yang satu itu, Rosululloh dawuh : " Alloh punya Ismul Akbar, lalu shohabat tanya dimana rosul letak Ismul Akbar itu ?Jawab Rosul: Ismul Akbar itu dekatnya dengan BISMILLAAH seperti dekatnya putihnya mata dengan hitamnya." Ayat BISMILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM itu adalah sebagian dari asma Tuhan, sedangkan letaknya antara BISMILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM dengan asma Allah yang Agung itu seperti letaknya hitamnya mata dengan putihnya. INI SUPAYA DIANGAN-ANGAN !. BISMILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM dengan asma Allah yang Agung itu dekatnya seperti hitamnya mata dengan putihnya. Apabila tahu rahasia tersebut maka apa yang diminta akan didatangkan dalam sekejap mata. RAHASIA BISMILLAH KE TUJUH (ASALNYA ROHMAT / RAHASIA HURUF MIM) Dalam BISMILLAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM huruf MIMnya ada berapa ? Ada 3 ( tiga ), huru MIM-nya ada lubangnya. Lubangnya itu adalah selongsong-nya jagad. Huruf MIM-nya itu terletak didalam lafadz : 1. BISMI 2. ARROHMAAN 3. ARROHIIM Tiga huruf MIM yang ada dalam BISMILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM itu kalau di gabung adalah rahasianya MUHAMMAD. Ini setengah dari rahasianya BISMILLAAHIR¬ROH¬MAANIR¬¬ROHIIM. Jadi sesungguhnya 'INDAHU 'ILMU MIN KITAAB itu adalah BIS¬MILLAAHIR¬ROH¬MAANIR¬¬ROHIIM. Dan untuk mendatangkan (sesuatu), sebenarnya dengan BIS¬MILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM itu sudah cukup. Sepertinya seluruh Al Qur'an itu keluarnya dari BIS¬MILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM. Sebab setiap surat di awali dengan BISMILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM. Kalau kamu membaca BIS¬MILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM dengan yaqin, gunung kamu suruh pindah, maka gunung akan pindah. ( ini sabda Rosul ). Sementara itu yang bisa kami sampaikan tentang Rahasia BISMILLAAHIRROH¬MAANIR¬¬ROHIIM . Semoha manfaat. AL INSAANU SIRRI WA ANAA SIRRUHU INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI'UUN adalah nikmat yang besar. Di dalam ayat tersebut di sebutkan: INNAA Di belakang huruf NUN ada huruf ALIF. Kalau kalimat (INNA), bila dibelakang huruf NUN tidak ada Alifnya maknanya ialah : Sesungguhnya. Akan tetapi bila lafadznya (INNAA) yakni di belakangnya huruf NUN itu ada Huruf alifnya, maka maknanya ialah : Sesungguhnya Aku (Ingsun). Huruf ALIF itu adalah Ingsun, Ingsun itu adalah Aku. Kalau ALIF-nya di kasroh menjadi INSUN, sebagaimana tersebut di dalam Al Qur'an: INSUN WALAA JAAN. Kalau ALIF-nya di fathah menjadi AKU, AKU adalah bahasa dalam Al Qur'an : WALAM AKU BAGHIYYA Kalau ALIF-nya di dhomah menjadi URIP. ALIF fathah : A ALIF kasroh :I ALIF dhomah : U Kalau di baca bunyinya A – I – U ( Aku Iki Urip) atau bisa di balik Urip Iki Aku. Bila ALIF di fathah juga bisa di baca atau menjadi ALLOH, ALIF di kasroh menjadi INSAN. Fathah, jabar, kasroh itu semua hanya pakaian. Bila pakaian tersebut di hilangkan yang ada hanya ALIF-nya saja. Makanya ketika Nabi Musa di angkat menjadi Nabi, Musa dengan istrinya di perintahkan FASTAMI'. Nabi Musa berkata kepada istrinya : Dik kelihatannya kok ada api, berhubung ini padang pasir dalam keadaan gelap, sekarang kamu berhenti di sini, saya akan kesana mengambil api, karena kita ini dalam kebingungan. Akhirnya istrinya di tinggal oleh Musa untuk mencari api, ketika sampai di tempat, api tidak ada, ternyata api itu berputar-putar di kayu Zaitun. ZAITUUNATIN LAA SYARQIYYATIN WALAA GHORBIYYAH. Artinya: Pohon ( kayu ) Zaitun tidak di barat dan tidak di timur. Supaya di renungkan kayu, apakah itu? Mengapa tidak terletak di barat atau di timur atau kayu tersebut tidak ada arah-arahnya. MUNAZZAHUN 'ANIL JIHAD ( tanpa jihad ). Bersih dari jihad, dari bawah, atas, depan, belakang, kiri, kanan, kayu apakah itu? Itu adalah kayu JATI atau KAYU KANGKUNG. Kangkung itu adalah gabungan dari Kang dan Kung, Nang Neng, Sangyang Wenang, Sangyang Wening. Wenang itu laki-laki, Wening itu perempuan. Nung, Neng, Nang, Ning itu maknanya Bening. Nung itu adalah Dunung, kalau sudah bening bisa mendunungkan ( mengarahkan ), tapi juga harus Neng ( Meneng ). Dalamnya tidak boleh ramai. Walaupun bening tapi kalau airnya gerak tidak akan kelihatan apa-apa. contoh : Coba kamu ambil tempayan kemudian di isi dengan air yang bening, walaupun airnya bening tapi kalau airnya gerak ( kocak ) terus menerus, maka dari atas tidak akan kelihatan apa-apa. Jadi tidak cukup dengan bening saja harus di sertai dengan meneng. Ananing, ananeng, ananung, anunang. AL INSAANU SIRRI WA ANAA SIRRUHU MAN 'AROFA NAFSAHU FAQOD 'AROFA ROBBAHU Itulah INNAA ( sesungguhnya Aku / sak temene Ingsun). Manakah yang di namakan Ingsun itu ? Coba tubuh ini di pegang, mengapa tangan memegang dada? Padahal itu hanya tempurungnya saja. Bodoh kalau itu dikatakan memegang ingsun. Coba diketuk, maksudnya adalah di ketuk dengan pengertian. INGSUN itu ALIF, ALIF itu urip, URIP itu SATU dan SATU itu LANJUT. Jadi satu dan urip itu lanjut. Awalnya orang mengaji itu dari ALIF dan awalnya orang menghitung itu dari SATU. ALIF itu satu SATU itu ALIF. SATU itu permulaan, SATU itu penghabisan, SATU itu genap, SATU itu juga ganjil. Sesungguhnya SATU itu tidak permulaan, tidak penghabisan, tidak genap, tidak ganjil. Mengapa satu di sebut Permulaan? Apakah ada orang yang menghitung tidak dari satu ( HUWAL AWWALU ). Megapa satu juga di sebut penghabisan (akhir)? Karena semua hitungan akhirnya pasti di satu. Mengapa satu di sebut dhohir ? Semua hitungan itu dhohirnya dari satu. Mengapa satu disebut bathin ? Karena semua hitungan pasti ada unsur satu. Di dua ada satu, di tiga ada satu, di empat juga ada satu. Lalu empat itu dari mana? Ya dari satu karena di awali dari satu. Kalau dua, tiga, empat dari satu berarti bukan satu namanya. Kalau tidak dari satu dari mana? Apakah ada hitungan tidak dari satu? Supaya di renungkan ! Jadi itu namanya adalah kesatuan. Kesatuan dengan satu itu tidak sama. KEBESARAN BULAN DZUL HIJJAH Sebagaimana telah kita maklumi bersama, bulan ini adalah bulan yang agung, bulan besar. Kebesaran bulan Dzul Hijjah ini ditandai oleh beberapa tanda. Beberapa hari yang menjadi tanda kebesaran bulan Iedul Adlha : 1. Tanda yang pertama : Hari tanggal 8 dinamakan : “Yaumit Tarwiyyah”. 2. Tanda kedua : Hari tanggal 9 dinamakan : “Yaumil ‘Arofah”. 3. Tanda kebesaran ketiga : Hari tanggal 10 dinamakan : “Yaumin Nahr”. 4. Tanda kebesaran keempat : Hari tanggal 11 dinamakan : “Yaumit Tasyriq”. 5. Tanda kebesaran kelima : Hari Tanggal 12 dinamakan : “Yaumit Tasyriq”. 6. Tanda kebesaran keenam : Hari tanggal 13 dinamakan : “Yaumit Tasyriq”. Tiga hari berturut-turut, dari tanggal 11 sampai tanggal 13 dinamakan : “Yaumit Tasyriq”. Pada hari tanggal 8 dinamakan : “Tarwiyyah”. Mengapa pada malam itu dinamakan “Tarwiyyah” ? Syaikh Abdul Qodir Jailani R.A. dalam kitabnya Al-Ghoniyyah juz II menerangkan : “Dinamakan Tarwiyyah karena Ibrohim Alaihis Salam melihat dalam mimpi pada tanggal delapan itu menyembelih anaknya yang namanya Ismail”. Itulah sebabnya pada hari tanggal 8 dinamakan : Yaumit Tarwiyyah, asalnya dari kata : “Ro-a”. Bagi umat Islam yang tidak menunaikan ibadah Hajji, disunatkan berpuasa pada hari Tarwiyyah itu. “Puasa hari Tarwiyyah menutup dosa satu tahun”. Pada hari Tarwiyyah itu, bagi orang yang menunaikan Hajjil Akbar, dengan tata cara yang telah ditentukan mulai ber-Ihrom lagi, kemudian bergerak menuju ke Mina. Kalau dapat sholat Dhuhur dengan sholat Ashar dikerjakan di Mina dengan Jama’ Qoshor : dua rokaat – dua rokaat. Kemudian sholat Maghrib, sholat Isya’. Tanda kebesaran kedua : Pada hari tanggal 9 dinamakan : Yaumil ‘Arofah. Bagi yang tidak menunaikan ibadah Hajji, di tanggal 9 itu disunatkan puasa. “Puasa sehari yaumu ‘Arofah dapat menutup dosa kecil dua tahun, setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang”. Bagi orang yang menunaikan ibadah Hajji, tidak boleh melakukan puasa Arofah. Bagi orang yang menunaikan Hajjil Akbar, setelah sholat Shubuh, dan setelah terbit matahari, meninggalkan Mina menuju ke padang Arofah. Dalam perjalanan dari Mina sampai ke Arofah, setelah sampai ke sebuah tempat yang namanya “Namiroh”, berhenti menunggu gelincir matahari. Masuk waktu Dhuhur, melaksanakan sholat Dhuhur dan sholat Ashar, Jama’ Taqdim di Arofah, wukuf di Arofah, disitu apa yang paling banyak dibaca? Yang paling utama membaca : Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka Tanda kebesaran bulan Dzul Hijjah ketiga : Tanggal 10 ; Hari Raya Iedul Adlha atau Yaumin Nahr. Mulailah umat Islam membaca Takbir, dan hari itu dinamakan hari yang agung. “Hari yang paling agung bagi Alloh adalah Yaumun Nahri (Hari tanggal 10 Dzul Hijjah)”. Setelah matahari terbenam pada hari Arofah, orang yang mengerjakan Hajji meninggalkan padang Arofah menuju ke Muzdalifah. Dalam perjalanan tetap bertalbiyah membaca : Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka “Aku penuhi panggilanmu ya Alloh, aku tunaikan panggilanmu”. “Aku penuhi panggilanmu, tak ada syerikat bagimu”. “Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan bagimu”. “Dan kerajaan juga bagimu”. Sampai di Muzdalifah melaksanakan sholat Maghrib dan sholat Isya` dengan cara Jama’ Ta’khir : sholat Maghrib dikerjakan di waktu Isya`. Diusahakan dapat bermalam di Muzdalifah. Awal waktu Shubuh di Muzdalifah, kemudian bergerak menuju ke tempat yang dinamakan : “Masy’aril Harom”. Wukuf di bukit “Izzah” berdzikir hingga matahari benar-benar terang. Sebelum matahari terbit, meninggalkan Masy’aril Harom masuk Mina lagi, kalau bisa langsung menuju Jamroh ‘Aqobah: melontar ‘Aqobah. Disitu sholat Iedul Adlha, ibadah kurban. Tanda kebesaran keempat, lima, enam dinamakan : “Ayyaamit Tasyriq”. Rosululloh SAW telah menerangkan : Enam hari dalam satu tahun kita dilarang berpuasa, tanggal satu Syawwal kita harom melaksanakan puasa karena itu Iedul Fithri. Tanggal 10 Dzul Hijjah, harom melaksanakan puasa. Tanggal 11, 12, 13 : Ayyanut Tasyriq harom tidak boleh berpuasa. Kemudian dilarang puasa khusus pada hari Jum’at, boleh melaksanakan puasa kalau bergandengan dengan sebelumnya hari Jum’at tersebut. Mengapa tanggal 11, 12, 13 dinamakan Ayyamut Tasyriq ? Tasyriq artinya pancaran, hari terbit, hari yang memancar, pancaran daging kurban, pancaran darah kurban, pancaran Takbir, pancaran Tahlil, pancaran Tasbih, pancaran melontar Jamroh. Itulah sebabnya hari-hari itu dinamakan Ayyamut Tasyriq. SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT (Jawa) Falsafah Jawa SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT SEBUAH TRANSISI YANG CANTIK DARI AGAMA HINDU KE AGAMA ISLAM 1. Sugih tanpa banda 2. Nglurug tanpa bala 3. Menang tanpa ngasorake 4. Digdaya tanpa aji Arti Sastra Jendra itu adalah suatu ujung dari segala akhir ilmu atau pepuntoning laku, atau akhir dari penjelmaan hidup. Sedangkan menurut Wedatama, Sastra Jendra merupakan ilmu Kasampurnaan atau Ilmu Luhur. Sastradi Ilmu Rahasia, Ilmu Mukswa, Ilmu Kasunyatan, Ilmu sejati ma’rifat, Nawaruci, Tatwa Jnana, yaitu suatu ilmu tentang esensi daripada wujud atau ilmu kalam dan disebut juga Ilmu Theologi. Secara harfiah Sastra Jendra berasal dari kata sastra yang berarti tulis, ilmu atau kitab. Sedangkan jendra berarti milik raja atau Gusti Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sastra jendra dalam dunia pewayangan dikenal diajarkan oleh begawan Wisrawa dan juga diajarkan oleh Bima dalam lakon Bima Suci atau Nawaruci atau Sena Rodra juga dikenal dengan lakon Bima Paksa. Sastra jendra ini tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang dan cara mengajarkannya harus pada tempat yang khusus, tidak boleh dihadiri oleh wanita dan bahkan tidak boleh didengar oleh seekor binatang pun (kutu-kutu, walang, ataga), karena sifatnya sangat rahasia. Orang harus mencarinya sendiri dan jika tidak waspada atau super hati-hati akan berakibat sangat fatal, kalau manusia yang mendengarkan dapat menjadi raksasa dan bersifat sangat angkara murka, kalau binatang yang mendengar dan mengerti sastra jendra dapat berinkarnasi menjadi manusia dalam kehidupan yang akan datang. Ketika Batara Guru mendengar bahwa Begawan Wisrawa akan mengajarkan dan menyebarluaskan Ilmu Sastra Jendra Layuningrat itu dan mengingat sifat kerahasiaannya itu, Batara Guru sangat marah dan segera mengeluarkan surat kuasa/surat perjalanan ke Areapada kepada isterinya, Betari Durga. Tugas utama Betari Durga adalah untuk menyusup (manjing) keraga Dewi Sukesi untuk menggagalkan rencana Wisrawa sehingga Resi Wisrawa runtuh imannya sewaktu melihat kecantikan Dewi Sukesi justru calon menantunya sehingga ia berbalik haluan sangat Kasmaran dan mengawininya sendiri. Dengan tidak tahu malu Resi Wisrawa melampiaskan nafsu angkara dan birahinya yang berakibat Dewi Sukesi hanggarbini (hamil). Di kemudian hari lahirlah anak-anaknya yaitu Rahwana, Kumbakarna, Sarpakanaka dan si bungsu rupawan Gunawan Wibisana. Yang menjadi tanda tanya mengapa Batara Guru dan para dewa mengajarkan dan menyebarluaskan ilmu sastra jendra itu. Hal ini karena para dewa takut kalau ada manusia dan binatang tahu dan memahami ilmu tersebut dikhawatirkan tidak akan mempercayai dan mengakui lagi dewa-dewa tersebut. Para dewa dalam sidang paripurna secara bulat sepakat untuk merintangi dan melarang usaha penyebarluasan ilmu sastra jendra tersebut. Dari uraian tersebut tersirat makna bahwa terdapat suatu usaha melalui wayang untuk menolak ajaran atau ilmu lain kecuali ilmu yang diajarkan oleh dewa-dewa. Menurut para ahli Barat ada yang berpendapat bahwa sastra jendra itu adalah Al Quran. Sementara orang beranggapan bahwa Resi Wisrawa sebenarnya belum menguasai betul ilmu Sastra Jendra itu. Tingkatannya masih dalam perjalanan atau proses dalam meraih ilmu sehingga dalam kenyataannya ia tergelincir dalam nafsu yang dilambangkan dengan Dewi Sukesi. Konon syarat utama yang mutlak harus ditempuh bagi manusia yang ingin mencapai ilmu sastra jendra harus mampu menahan diri, atau mampu mengendalikan hawa nafsu, yaitu haru mampu menahan atau menyingkirkan nafsu angkata, nafsu perut, dan nafsu kelamin (cegah dahar lan guling) dengan jalan berpuasa. Nafsu angkara dalam pewayangan dilambangkan dengan Raksasa, sedangkan nafsu guling dilambangkan dengan wanita. Resi Wisrawa pada waktu itu baru berhasil menyingkirkan nafsu perut (aluamah) dan nafsu amarah yang dilambangkan bahwa Resi Wisrawa berhasil membunuh secara sadis dan memotong-motong badan Raksasa Jambumangil, yaitu saudara misan Dewi Sukesi. Karena tindakan Resi Wisrawa itu maka hukum karma menimpa anaknya Kumbakarna. Kematian Kumbakarna dalam keadaan mengenaskan/mengerikan dalam perang Kera dan Ceritera Ramayana. Kematiannya dimulai dari telinga putus, tangan putus, kaki satu-persatu putus dan akhirnya lehernya terpisah dari badannya (gembung). Ini hukum karma tetapi sekaligus melambangkan keberhasilan Resi Wisrawa dalam menumpas/membunuh nafsu angkaranya, biarpun akhirnya ia tergelincir dalam nafsu kelamin dan dalam lembah kenistaan (ia melahirkan Rahwana atau Dasamuka yang melambangkan sepuluh nafsu angkara berasal dari lima nafsu Wusrawa dan lima Sukesi, yaitu amarah, mutmainah, supiah, aluaman dah mulhimah. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu menurut para ahli tidak pernah dimuat dalam Kepusatakaan Jawa Kuna, tetapi dikenal pada abad IXI (1820) pada karya Kiyai Yasadipura dan Kiyai Sindusastra dalam Lakon Arjuna Wijaya atau Lokapala (dikutip dalam Kitab Arjuna Wijaya) dalam pupuh Sinom yang menyatakan: Kejawi saking punika ngungun kawula dene ta boten kadasa putra tuan nini putri, sinten ta sing marahi. Penedahanira pinku. Sastra Jendra Yu ningrat menangka wadining bumi pan sinengker dening hyang Jagat Pratingkah. Tan kening singa ngucapa siniku ing bataradi senagyan para pandita, kang samya mandireng wukir awis ingkang ngarawuhi yen dede pandita pinunjul, kuala matur prasaja mring paduka yayi aji, kang tineda ing nini punika. Sastra Jendra Yu Ningrat, pangruwating barang sakalir ingkang kawruh tan wonten malih wus kawengku sastradi pungkas pungkasaning kawruh ditya diyu rakseksa myong sato siningwanadri lamun weruh artine kang Sastra Jendra. Rinuwai dening Batara sampurna patine reki atmane wor lan manungsa, manungsa kang wis linuwih yen manungsa udani, wong lan dewa patinipun jawata kang minulya. Terjemahan bebas kurang lebih sebagai berikut: Selain dari itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak wanita saya ini, yaitu barang siapa dapat memenuhi permintaannya untuk menjabarkan Sastra Jendra Yu Ningrat sebagai rahasia dunia (esoteris) yang dirahasiakan oleh Sanghyang Jagat Pratingkah. Dimana tidak boleh seorang pun mengucapkannya, karena akan mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pendita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pendita yang mempuni. Saya akan berkata terus terang kepada dinda Prabu apa yang terjadai permintaan putri paduka. SERAT DEWA RUCI Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa). Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44; Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh. Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut : Bima Taat kepada Guru Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat. Bima Hormat kepada Guru Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat. Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir. Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada Pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat. Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan. Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67). Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderang gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126). Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar). Bima Mulai Melihat Dirinya Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci. Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut Hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46). Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat. Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasana Alam Kosong Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran Hakikat. Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat. Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya Bima Melihat Pancamaya Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning. Bima Melihat Empat Warna Cahaya Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui. Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya. Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya. Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal. Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40). Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka. Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85). Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi. Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu. Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94). Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45). Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat. Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat. Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129). Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat. Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat. Kesimpulan Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’. Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa). MAJMA’AL BAHRAIN (SISI LAIN) Kita Sering mendengar istilah " MAJMA’AL BAHRAIN" Pertemuan Dua Lautan. Kalau kita ketik MAJMA’AL BAHRAIN di google. kita akan melihat ribuan, lebih dari 10 ribu yang menerangkan tentang itu. Rata-rata MAJMA’AL BAHRAIN berhubungan dengan nama pesantren di Jombang, Group FB, Account FB, Salah satu Nama Kitab karangan al-Fanshuri. Yang jelas istilah MAJMA’AL BAHRAIN ada dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, yang juga diceritakan dalam kisah pewayangan Seno dan Dewaruci Apa hakekat MAJMA’AL BAHRAIN ? dalam salah satu keterangan Syeikh Google, ada yang mengupas HAKEKAT MAJMA’AL BAHRAIN. Karena ini agak aneh, di harap para pembaca yang kurang paham atau mungkin tidak paham, baca pelan-pelan saja, atau bertanya pada ahlinya. Karena Sebagian besar istilah MAJMA’AL BAHRAIN adalah nama Pesantren di Ploso – Jombang, Jawa Timur(google), mungkin sebagain besar murid pesantren ini sudah memahami hakekat MAJMA’AL BAHRAIN. Anda bisa menanyakan kepada salah satu murid di pesantren tersebut jika kurang paham. Kalau kurang puas bisa bertanya kepada salah satu kader, kalau masih kurang puas juga bisa bertanya ke salah satu pengurus oraganisasi, kalau kurang puas juga bertanyalah kepada salah satu bapak Kholifah di pesantren tersebut. Kalau tetap saja kurang puas, cukup baca ini saja. Insya Alloh !. Ini Artikel tentang HAKEKAT MAJMA’AL BAHRAIN menurut Syekh Google : “Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).” “Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.” “Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).” “Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.” “Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.” “Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.” “Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.” “Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.” “Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).” “Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –Rasyid).” “Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.” Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.” “Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.” “Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).” “Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.” “Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.” “Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.” “Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.” “Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.” “Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).” “Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).” “Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.” “Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).” “Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).” “Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).” “Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.” Semoga mengerti apa yang dijelaskan MENYEMBAH ALLAH, ITU SUATU KESALAHAN “…………………… maka mengabdilah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.(QS : Thaahaa,14) Sudah menjadi Tradisi bagi setiap Umat Muslim se Dunia bahwa setiap melaksanakan Sholat, maka yang terbenak dalam fikiran adalah Penyembahan/Menyembah. Entah darimana Bahasa itu berasal, tetapi yang jelas hampir semua dari seluruh Umat Muslim meyakini bahwa kita harus menyembah kepada Allah. Sadar atau tidak sadar, jika tertanam pada diri untuk Meyembah Allah dalam Amal Ibadah maka yang terjadi adalah pengkultusan suatu “sosok”/”personal”. Padahal telah diketahui dan diyakini oleh Umat Muslim bahwa Allah adalah “Laisa Kamitslihi Syai’un”/Tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu apapun. Kata-kata “Menyembah/Penyembahan”, maka masih bisa dimitsalkan dengan seseorang yang menyembah kepada sesuatu misalnya Patung, Pohon, Matahari, Api dll…dll…dll, yang mana ada suatu “sosok” yang berada di luar atau di depan atau di atas atau dikanan atau dikiri dari diri Sang Penyembah. Lalu apa bedanya dengan mereka yang menyembah Patung, Pohon, Matahari, Api dll…dll…dll…????. Melihat ataupun tidak melihat akan yang di SEMBAH, tetap saja bertentangan dengan TAUHID yang sebenarnya. Karena TAUHID itu, bukan PENYEMBAHAN melainkan KESADARAN akan ke ESA an Allah Swt. KESADARAN akan ke ESA an Allah Swt MUTLAK tidak bisa di ganggu gugat, karena Allah Muhitum Fil ‘Aaalamiin/Allah Meliputi sekalian Alam. Tetapi jika dimaknai dengan MENYEMBAH, maka menunjukkan bahwa Allah itu adalah suatu “sosok” yang berada di suatu Tempat yang berada Nun jauh disana….., ada yang meyakini bahwa Allah bersemayam di Atas Arsy yang berada di atas langit ke tujuh, Salahkah jika dikatakan demikian…??? Benar dan Tidak salah. Tetapi yang salah adalah Penafsiran dari pada Ayat tsb. Apalagi Ayat tsb terdapat dalam Al-Qur’an, berarti itu sudah benar adanya, tetapi…jika salah menafsirkan maka salah pula lah Keyakinan yang ada. Bahasa Qur’an adalah Perkataan Allah/Suara Allah, tentunya tidak bisa di cerna dengan Akal fakir Manusia, karena Akal Fikir Manusia itu terbatas dan juga Akal itu tercipta. Sesuatu yang tercipta itu adalah Baharu dan tidak Kekal, apakah bisa sesuatu yang baharu dan tidak kekal itu mengetahui Hakikat sebenarnya dari kata-kata/Firman/Suara Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an…??? Jika akal mencerna lalu menafsirkan hanya sebatas kata-kata yang menurut akal fikir semata, maka Nyata SALAH lah….penafsiran yang demikian. Sebab, Allah itu Laitsa Kamitslihi Syai’un, bagaimana mungkin bisa dikatakan berada di suatu tempat, sedangkan Allah tidak terikat oleh Ruang dan Waktu. Ruang dan Waktu menunjukkan Tempat, dan hanya Makhluk lah….yang berada dan terikat oleh Ruang dan Waktu. Sedangkan Allah….., Tidak bertempat tetapi yang memiliki dan menguasai setiap tempat serta Pengetahuan Allah meliputi setiap Ruang dan Waktu (Tempat). Karenanya dalam pandangan TAUHID dan TASAWUF atau MA’RIFATULLAH, maka siapa yang menyembah Allah maka mereka berada dalam ke kufuran, Karena telah menyamakan Allah dengan “sosok” yang berada di suatu tempat. Para Arifbillah(yang Mengenal akan Allah), menilik kata-kata “MENYEMBAH” itu bukanlah suatu “PENYEMBAHAN” melainkan “KESADARAN akan ke ESA an Allah Swt yang tidak bertempat tetapi memiliki dan menguasai setiap tempat serta Pengetahuan Allah meliputi setiap Ruang dan Waktu (Tempat)”. Jadi……..mendirikan Sholat adalah untuk mengenal akan ALLAH MAHA BESAR (ALLAHU AKBAR) yang akan menumbuhkan kesadaran bahwa BENAR lah….ALLAH itu ESA tiada sekutu bagi-Nya, Tidak bertempat tetapi memiliki dan menguasai setiap tempat serta Pengetahuan-Nya meliputi tiap-tiap sesuatu. Karenanya renungkanlah…..kenapa pada saat Takbiratul Ihram mengangkat ke dua tangan dan mengatakan “ALLAAHU AKBAAR”. Ternyata Itu adalah Tanda dan Bukti bahwa dalam Penyerahan Diri akan Tumbuh Kesadaran bahwa “YA” BENAR!!!!…..Allah Maha Besar dan Meliputi”. Wallahu A’lam bishowab…. LAKON LAHIR ( I O ) Sejak kapan manusia mengenal tuhan dan kejadian manusia. Sebelum terbentuknya manusia, didalam alam ruh, terjadi pengakuan adanya ketuhanan sesuai dengan alqur’an. ALASTU BIROBBIKUM "Bukankah AKU tuhanmu " BALA SAHIDNA "benar ya ALLAH, engkau adalah TUHANku", kemudian "KALAU KAU AKU TURUNKAN KEDUNIA APA JANJIMU" . "TIADA AKU CIPTAKAN JIN DAN MANUSIA SUPAYA BERIBADAH KEPADAKU". Sebelum adanya manusia sudah ada kehidupan, yaitu kehidupan yang belum terbentuk ujud manusia yaitu berupa RUH. sehingga yang ada ISMILLAHIROHMANIRROHIM artinya nama Allah yang pengasih dan penyayang. Begitulah proses pengakuan ketuhanan ruh terhadap ALLAH, kemudian ruh ditaruh kepada rahim seorang ibu, pada saat kandungan berumur 40 hari didalam alam kandungan. Untuk menguji ketauhidan manusia juga menciptakan juga jasmani (bentuk rangka manusia yang terdiri 7 lapis yaitu bulu, kulit, daging, darah, otot, balung dan sumsum) dari sari pati tanah dan diberikan juga nafsu, dan ALLAH juga telah menciptakan dunia untuk mengHIJAB manusia supaya lupa akan tuhannya. Dari kejadian diatas dinamakan manusia yang terdiri jasmani ( rangka/batang simbol angka 0) dan ruhani ( ruh/isi simbolnya angka 1) terdapat dalam bacaan kalimat BISMILLAHIROHMANIRROHIM ( ditambahkan huruf Ba (menunjukan batang/bangkai) yang artinya DENGAN dalam kalimat ISMILLAHIROHMANIRROHIM yang artinya nama Allah yg maha pengasih dan penyayang ), sehingga kalimat BISMILLAHIROHMANIRROHIM terdiri dari 19 huruf dan jenis hurufnya ada 10. Tanda 10 (menunjukan kesempurnaan ) ujudnya manusia. makanya Setiap aktifitas apapun harus membaca BISMILLAHIROHMANIRROHIM, kalau tidak semua yang dilakukan batal tidak berguna. Hari bergerak kehari, dan umur bertambah tahun demi tahun, sampai umur 7 tahun sampai akil balig kita diperintah untuk belajar sholat, ngaji, kebajikan dll untuk membuka hijab kita mengingat BAIAT/janji sesuai dialam ruh, tetapi hati kita tetap buta."YANG MEMBUAT SESORANG NASRANI, DAN MAJUSI itu adalah orang tua kita". pada saat kita akil balig itulah kewajiban sebagai manusia untuk mencari kebenaran yang hakiki dituntut. Ada nasrani, budha, hindu dan islam dan itu merupakan pilihan. Dan kita mengakui dengan LAA ILAHA ILALLAH tidak ada tuhan yang patut disembah selain ALLAH. tetapi pada kenyataan banyak orang yang meyembah selain Allah, dihati penuh dengan harta-benda, wanita, jabatan, dan uang. Ini berhala-berhala didalam hati harus disingkirkan kalau tidak selamanya akan tersesat. Kalau jaman jahiliyah orang bener2 menyembah berhala didepan LATTA, UZZA dll, tetapi sekarang berhalanya didalam hati lillah hartabenda, lillah jabatan, lillah pamrih dll. jahiliyahnya tidak nampak. pengertian diatas filosofi jawa mengatakan LAKON LAHIR ( ceritera kelahiran) pengertian diatas harus dimengerti untuk membahas kelanjutan tauhid. apa yang dinamakan hidup menurut agama ISLAM sesuai dengan Rosululloh, kalau hidup hanya bertambah besar dan kuat tak jauh bedanya dengan hidupnya tumbuh-tumbuhan, kalau hidup hanya bertambah banyak, beranak pinak tak jauh bedanya hidupnya hewan. yang dinamakan hidup adalah hidupnya hati yang selalu berdzikir sirri Allah…hu….Allah…hu ….Allah…hu….Allah…hu, dan jasmani tetap mengerjakan sesuai dengan sifat mahluk yaitu bekerja dan berkarya untuk memenuhi kehidupan dibumi sebagai wakil dari Allah. sedangkan ILMU TAUHID ilmu manunggalnya jasmani dan ruhani menuju ilahirobbi. karena manusia ada 2 kehidupan yaitu kehidupan ruhani berpangkal di qolbu, dan kehidupan jasmani berpangkal pada gerakan dhohir/nampak dan gerakan tersebut harus selaras, seayun dan seperjuangan menjadi kemulyaan sebagai manusia. Jadi manusia harus mampu melakukan MULTITASKING ( pinjam bhs komputer, Selalu berdzikir sirri Allah…hu….Allah…hu ….Allah…hu….Allah…hu mode on )dalam melaksanakan kehidupan di dunia,bila ruhani menuntut banyak maka jasmani tidak bisa berkerja dan berkarya sehinga manusia akan jadi MISKIN, sedangkan MISKIN mendekati KEKUFURAN. dan sebaliknya Bila JASMANI menuntut terlalu banyak maka kita ruhani akan tidak terawat yang timbul akan berusaha mendapatkan duniawi yang melimpah-ruah sehingga timbul sifat serakah, pelit, kikir dll akan menguasai nafsu kita, dan akhirnya kita jatuh dalam kemaksiatan. Dengan menerapkan ilmu tauhid pada sholat , diharapkan kita jauh lebih mudah untuk menguasai ruhani kita yang sering keluyuran kemana-mana dan menambah nikmatnya sholat. "SESUNGGUHNYA NAFASMU ITU ADALAH BERLIAN MAKNAWI, BILA TARIKAN NAFASMU TIDAK DIIKUTI DENGAN DZIKIR SIA-SIA BELAKA" mohon maaf kalau terlalu panjang dan belum tuntas …. Semoga pengetahuan awal kejadian manusia dengan pengetahuan sidikit membahas tauhid ini membawa kenikmatan dalam beribadah….dan ruhani kita mudah untuk dikendalikan. MA-UZ ZAM-ZAM Tiap-tiap orang yang pulang dari menunaikan ibadah Hajji, biasanya membawa oleh-oleh yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang menziarahi. Ada yang membawa kurma, ada yang membawa surban, permata, tasbih, minyak wangi, sajadah dan lain-lainnya.Akan tetapi oleh-oleh asal dari tanah suci yang paling berharga yaitu Ma-uz Zam-Zam. Dalam Hadist, Artinya : “Air Zam-Zam itu terserah bagi orang yang meminumnya”. Hadits tersebut keterangan dari Shohabat Jabir. • Kalau orang yang sedang lapar, kemudian meminum air Zam-Zam dengan hati minta kepada Alloh supaya hilang kelaparan, maka hilanglah lapar. • Orang yang haus minum air Zam-Zam, minta kepada Alloh supaya hilang hausnya, hilanglah haus. • Orang yang minta perlindungan kepada Alloh, dengan minum air Zam-Zam, hilanglah kesialan dan macam-macam. • Orang yang sedang sakit, minta kepada Alloh diwaktu minum minta kepada Alloh minta sembuh, Alloh mengabulkan permintaannya. Itulah keterangan-keterangan dalam Hadits. Siapakah orang yang menemukan air Zam-Zam itu di dunia ini ? Dari manakah air Zam-Zam itu ? Air Zam-Zam itu dari sumur Zam-Zam : “Bi`ru Zam-Zam”. Siapakah yang menemukan di dunia ini, sumur yang sampai tiga ribu tahun lebih sampai sekarang, yang di dunia ini tidak ada sumur yang airnya diminum oleh manusia di seluruh dunia, kecuali sumur Zam-Zam. Siapakah yang menemukannya ? Yaitu seorang wanita, bukan orang laki-laki. Mengapa kok wanita ? Mengapa tidak laki-laki ? Rosululloh SAW menerangkan : “Sifat malu itu sepuluh bagian, sembilan bagian ada pada wanita dan satu bagian ada pada orang laki-laki”. Jadi sifat malu dari iman itu terbagi menjadi sepuluh bagian, yang sembilan bagian sifat Haya` itu ada pada kaum wanita. Oleh sebab itu orang yang paling banyak malunya di dunia, itulah yang dapat menemukan air Zam-Zam. Alloh Ta’ala telah berfirman dalam Hadits Qudsi : “Alloh Ta’ala berfirman kepada anak Adam : Wahai manusia, kebaikanKu Aku turunkan kepadamu, tapi keburukanmu kamu naikkan kepadaKu”. Tiap-tiap detik Aloh Ta’ala menurunkan nikmat kepada manusia tak terbilang banyaknya : Tetapi manusia karena tipis malunya, tidak mau mensyukuri nikmat Alloh Ta’ala, bahkan menaikkan kekufuran kepada Alloh. • Alloh Ta’ala menurunkan nikmat, tapi manusia menaikkan kekufuran kepada Alloh Ta’ala. • Alloh Ta’ala menurunkan amanat / kepercayaan kepada manusia, tapi si manusia menurunkan khiyanat kepada Alloh Ta’ala. Karena sudah koyak sifat malunya kepada Alloh. • Alloh Ta’ala menurunkan wahyu untuk kesucian manusia, tapi manusia menaikkan Khobitsah / kekotoran kepada Alloh Ta’ala. • Alloh Ta’ala menurunkan anugerah bermacam-macam nikmat kepada manusia, manusia diberi nikmat wujud, nikmat hidup, nikmat akal, nikmat fikir, nikmat ruh, nikmat jisim, nikmat kekuatan, nikmat kesempatan dan sebagainya, akan tetapi kenikmatan-kenikmatan yang diberikan oleh Alloh Ta’ala itu dipergunakan oleh manusia untuk menentang Alloh, menentang larangan-larangan Alloh, malah menjauhi perintah-perintah Alloh, karena tidak malunya kepada Alloh. • Diperintah tauhid, malah musyrik. • Diperintah adil, malah dholim. • Diperintah sholeh, malah tholeh. • Diperintah iman, malah nifak. • Diperintah syukur, malah kufur. • Diperintah amanat, malah khiyanat. • Diperintah hasanat, malah sayyi-at. • Diperintah birrun, malah fajirun. • Diperintah shiddiq, malah kadzib. • Diperintah haq, malah bathal. • Diperintah taubat, malah tabbat. • Diperintah shabar, malah putus asa. Itulah orang-orang yang tidak malu kepada Alloh. Orang yang tidak bersifat malu kepada Alloh, hanyalah malu kepada manusia saja adalah mustahil dapat menemukan Ma-uz Zam-Zam ruhaniyyah, itu mustahil. Hanya dengan Ma-uz Zam-Zam ruhaniyyah itulah iman akan hidup, iman menjadi subur, iman akan menumbuhkan amal-amal sholeh dan lain-lainnya. Untuk apa air Zam-Zam dicari oleh seorang wanita yang namanya Hajar ? Yakni untuk menghidupkan Ismail yang Ismail waktu itu akan wafat. Dicari di Shofa tidak ketemu, dicari di Marwa tidak ketemu. Dimanakah air itu ? Air itu ditemukan oleh Hajar pada telapak kakinya Ismail. Ismail yang dicarikan air itu, akan tetapi air itu ada pada Ismail sendiri. Akhirnya Ismail tertolong oleh air itu, maka air itu pada hakekatnya Ma-ul Hayat. Sebenarnya Ma-uz Zam-Zam ruhaniyyah itu ada pada tiap-tiap ruh manusia, ada pada tiap-tiap ruh manusia. Sayang ! banyak orang yang minum air Zam-Zam setiap tahun hanya air lahir saja, tapi air bathinnya tetap kering tidak pernah digali masing-masing, itu sayang. Mengapa demikian ? Karena belum menjadi Hajar. Hajar artinya orang yang berhijrah. • Hijrah dari syirik menuju tauhid. • Hijrah dari kadzib menuju shiddiq. • Hijrah dari qobiihah menuju hasanah. • Hijrah dari nifaq menuju iman. • Hijrah dari kufur menuju syukur. • Hijrah dari kedholiman menuju keadilan. Itulah hakekatnya orang yang dinamakan “Hajaro”, baikpun orang laki-laki maupun orang perempuan asal berani hijrah sekarang ini, itulah yang dinamakan Hajar. Itulah yang dapat menemukan Mauz Zam-Zam ruhaniyyah yang ada pada dirinya masing-masing. Mudah-mudahan kita dapat menemukan Mauz Zam-Zam ruhaniyyah yang ada pada diri kita masing-masing, yang air itu sampai nanti di akhirat tidak akan hilang. Selamat Berjuang !! MENGECUP HAJAR ASWAD QOOLA ROSUULULLOHI SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAMA : INNA LIKULLI SYAI-IN SAQOOLATAN WA INNA SAQOOLATAL QULUUBI DZIKRULLOHI, WAMAA MIN SYAI-IN ANJAA MIN ‘ADZAABILLAHI MIN DZIKRILLAHI, WALAU AN TADL-RUBA BISAIFIKA HATTAA YAN-QOTI’U (‘An Ibni Umar) Rowahul Baihaqi fi sya’bil iman. (Jami’ush shoghir / I / Alif / 166). Bersabda Rosulullohi s.a.w : Sesungguhnya bagi segala sesuatu itu ada penggosoknya. Dan sesungguhnya penggosoknya hati itu ialah dzikrulloh. Dan tidak ada dari sesuatu yang paling bisa menyelamatkan dari siksa Alloh (selain) dari dzikrulloh. Dan meskipun seandainya lehermu dipotong dari pandangmu sendiri. Hati manusia itu bisa di ibaratkan seperti kaca cermin. Dan setiap kali manusia melakukan dosa, maka sama dengan menggoreskan satu titik hitam (NUKTHOTUN SAUDA-UN) ke cermin hati. Bila melakukan dua kali dosa berarti menggoreskan dua titik hitam, bila tiga kali dosa, berarti tiga titik hitam, demikian seterusnya. Jadi dosa-dosa itu bisa merubah hati manusia tapi tidak merubah jasmani manusia. Meskipun manusia itu dosanya banyak, tetap tidak akan merubah jasmaninya, jika tampan ya tetap tampan. Adapun yang berubah itu adalah hatinya, bila semakin banyak berdosa maka hatinya akan semakin hitam akhirnya gelap. Jadi hati manusia itu asalnya putih, tapi oleh karena terkena dosa dari mata, dari telinga, dari lisan, dari tangan dan kaki dst akhirnya mengumpul titik-titik hitam di cermin hati, sehingga hati menjadi hitam dan gelap. Lalu bila hatinya juga keras seperti batu, karena dalam Alqur-an ada ayat yang menerangkan : FAHIYA KAL HIJAAROTI AU ASYADDU QOSWAH “Maka dia (hatinya) seperti batu atau lebih keras (dari batu)”. Maka hatinya jadilah batu hitam. Batu bahasa Arabnya HAJAR. Hitam bahasa Arabnya ASWAD. Bila digabung jadilah HAJAR ASWAD. Kemudian disuruh mengecupnya supaya putih lagi. Tapi umumnya yang dikecup oleh orang-orang itu hanya HAJAR ASWAD yang di Timur Tengah saja, sedangkan hatinya sendiri (HAJAR ASWADnya) sendiri tidak pernah dikecup. Seharusnya HAJAR ASWAD nya sendiri itu dikecup dengan SAQOOLATAL QULUB (dengan pembersih hati) yakni DZIKRULLOH (ingat kepada Alloh) supaya bersih, bukan tetangganya yang disuruh ngecup. Dan bila hati (hajar aswadnya) tidak dikecup sendiri (dibersihkan dengan dzikir) maka akan hitam terus. Adapun Hajar aswad itu sendiri dahulunya adalah HAJAR ABYAD (batu putih) dan berasal dari surga, turun bersama dengan Adam. Jadi asalnya Hajar abyad itu di surga, begitu juga dengan Adam, tapi iblispun juga disana. Lalu kenapa batu yang asalnya putih (HAJAR ABYAD) berubah menjadi batu hitam (HAJAR ASWAD)? Sebabnya berubah jadi hitam karena terkena dosanya orang-orang musyrik atau karena dikecupi oleh orang-orang musyrik. Seandainya tidak dikecupi oleh orang-orang musyrik maka tidak akan menjadi hitam. Oleh karena sekarang ini batunya sudah hitam maka yang dikecupi oleh orang-orang itu ya hitamnya. Katanya sangat bangga sekali bisa mengecupnya. Tapi sekarang oleh pemerintah sana sudah tidak boleh mengecup hajar aswad, sudah dilarang. Adapun letaknya HAJAR ASWAD itu menempel di Baitulloh. Bait = rumah. Alloh itu namanya Dzat yang Maha Kuasa. Jadi hajar aswad itu menempel dirumahnya gusti Alloh. Apa Alloh punya rumah ? Punya, manusia saja punya rumah apalagi Alloh. HAJI MABRUR Pada bulan ini Ummat Islam seluruh dunia melaksanakan Ibadah Hajji. Dan negeri – negeri yang paling banyak ummatnya melaksanakan Ibadah Hajji ialah Negeri Iran dan kedua Negeri Indonesia, Ummat Islam Indonesia menunaikan Ibadah Hajji lebih dari dua ratus ribu. Apakah Hajji itu, apakah Hajji itu nama manusia, Apakah Hajji itu nama suatu negara ?, bukan. Hajji itu menurut istilah Syar’i ialah mengunjungi Baitulloh di negeri Mekkah dengan cara tertentu dengan istilah lain HAJJI ITU ZIARAH, Ziarah ke Mekkah untuk mengerjakan Ibadah Thowaf sekeliling Ka’bah, Ibadah Sa’i antara Shofa dan Marwa, Ibadah Wukuf di Padang Arofah dan serangkai Ibadah lainnya dalam rangka melaksanakan ibadah Alloh semata – mata itulah yang dinamakan Hajji. Jadi bukanlah nama Manusia. Apakah yang dinamakan Umroh itu ? Umroh itu menurut istilah ialah mengunjungi Baitulloh di negeri Mekkah, Ziarah ke Mekkah untuk mengerjakan Ibadah Thowaf sekeliling Ka’bah, Ibadah Sa’i antara Shofa dan Marwa, melaksanakan Tahallul / cukur. Orang yang melaksanakan Ibadah Hajji itu ada yang ibadah Hajjinya diterima oleh Alloh Ta’ala. Dan ada yang Ibadah Hajjinya ditolak oleh Alloh Ta’ala. Ibadah Hajji yang diterima oleh Alloh Ta’ala dinamakan Hajji Mabrur dan Ibadah Hajji yang ditolak oleh Alloh Ta’ala dinamakan Hajji Mardudun. Alangkah sialnya, alangkah ruginya bagi orang yang hajjinya menjadi hajji Mardudun. Karena biayanya banyak, tenaga, waktunya selama itu hanyalah sia – sia belaka, tidak mendapat pahala dari Alloh Ta’ala malah mendapat ancaman neraka dan sebaliknya alangkah bahagianya bagi orang yang Hajjinya Mabrur karena Rosululloh S.A.W. telah bersabda ; “ Haji Mabrur itu tiadalah balasannya kecuali surga “. Bagaimanakah ikhtiar kita untuk mencapai Haji Mabrur itu ? Untuk mencapai Haji Mabrur itu kita harus mencapai 5 pokok yaitu : 1. Niat yang ikhlas karena Alloh semata – mata. 2. Biayanya, makannnya, minumnya, pakainnya, dan uangnya dari yang halal. 3. Haruslah menjauhi larangan – larangan Alloh yang berkenaan dengan Ibadah Haji. 4. Ibadah Hajjinya harus mencontoh Ibadah Hajji yang dilaksanakan oleh Rasululloh. 5. Setelah pulang dari Ibadah Hajji hal-nya ( akhlaqnya ) harus lebih baik daripada sebelum melaksanakan Ibadah Hajji. 5 pokok ini adalah syarat mutlak untuk mencapai Hajji yang Mabrur Pokok yang pertama ialah Niat. Dalilnya dalam Al-Qur’an : “ Dan sempurnakanlah Hajji dan Umrohmu karena Alloh Semata – mata “ Tidak ada niat yang lain. • Tidak boleh karena ingin tahu Negeri Mekkah • Niat ingin naik pesawat Terbang. • Niat ingin Dipanggil Pak Hajji / Bu Hajji. • Niat ingin dihormati orang • Niat ganti Berpakaian putih, • Berkopyah putih. • Semua itu tidak boleh. Rasululloh S.A.W, Shohabat Abu Bakar, Shohabat Umar, Shohabat Utsman, Shohabat Ali Rodhi-Allohu Anhum dll, semuanya menunaikan Ibadah Hajji tetapi tidak ada dalam Hadits – hadits Nabi disebutkan ; • Hajji Muhammad Rosululloh. • Hajji Abu Bakar Shiddiq tidak ada. • Hajji Umar Bin Khottob tidak ada. • Hajji Utsman Bin Affan tidak ada. Jelaslah bahwa nama Hajji itu bukan nama manusia, begitu pula pakaian Hajji itu hanya 2 macam, kain putih tanpa jahitan ; 1. Untuk Izar / sarung. 2. Untuk Selendang. Hanya 2 potong kain itulah yang dinamakan Pakaian Hajji, malah tanpa Kopyah putih, Tanpa Qomis, tanpa Jubbah, tanpa sorban. Jadi pakaian Hajji itu ,bukan pakaian putih, bukan sorban, bukan jubah, semua itu adalah pakaian adatnya orang Arab, baikpun orang Arab yang beragama Islam maupun Nasrani. Juga pokok yang kedua tersebut diatas, Harta benda yang dipakai Hajji itu haruslah dengan uang yang halal tidak boleh uang hasil merampok, hasil nipu, renten ( pinjaman dengan bunga ), Korupsi, semuanya tertolak Hajjinya. “ Sesunggunya Alloh Ta’ala itu Maha Suci tidak akan menerima sesuatu kecuali hanya yang suci. Pokok yang ketiga, haruslah menjauhi larangan – larangan Alloh yang telah ditentukan dalam Ibadah Hajji diantaranya ; 1. Larangan Rohas ( berbuat keji yang tidak senonoh ). 2. Larangan Khusut 3. Larangan Jadal ( bertengkar / berkelahi ). Itu larangan dalam Ibadah Hajji dalam Al-Qur’an diterangkan ; “ Barang siapa yang menentukan niatnya untuk beribadah Hajji maka janganlah berbuat fasiq, Jadal dalam Hajji. Pokok ke empat. Pelaksanaan Hajjinya haruslah sesuai dengan tuntunan yang telah dicontohkan oleh Rosululloh tidak boleh ngawur ini Nash Hadist. So’al Ibadah Hajji ada rukun Hajji dan ada wajib Hajji, perbedaannya rukun Hajji adalah sesuatu amalan musti harus dikerjakan bila ada yang tertinggal Hajjinya tidak syah. 1. Niat serta memakai Ikhram. 2. Wukuf di Arofah. 3. Towaf ‘Ifadah. 4. Sa’i. 5. Bercukur / tahallul. 6. Tertib Itu rukunnya Haji. Wajibnya haji yaitu berkata yang musti dikerjakan jika ada yang tertinggal hajinya tetap syah tetapi dikenakan denda itu wajibnya haji. Wajibnya Haji ialah ; 1. Ikhram dan Mikot. 2. Towaf Wadah. 3. Menginap di Muzdalifah. 4. Melontar Jumroh di Aqobah. 5. Menginap di Mina. 6. Melontar 3 Jumroh. 7. Menjauhi larangan Alloh. Kebesaran Idul Adha (Sudah kami muat sebelumnya) ini ditandai oleh amalan sejak tanggal 8, 9, 10, 11, 12, 13, Tanggal 8 Dzul-Hijjah dinamakan, “Yaumit Tarwiyyah”, bagi orang yang tidak mengerjakan Haji di Tgl. 8 Dzul-Hijjah dianjurkan puasa sunnah sehari, namanya puasa tarwiyyah. Puasa Hari Tarwiyyah menutupi dosa setahun. Bagi orang yang mengikuti Ibadah Haji pada tgl. 8 itu berangkat menuju Mina dan di Mina Sholat Fardlu 5 dengan Jama’ dan Qosor, itu bagi orang yang menunaikan Ibadah Haji. Kemudian Tgl. 9 Dzul-Hijjah dinamakan “Yaumil ‘Arofah” Bagi orang yang tidak menunaikan ibadah Hajji dianjurkan puasa Sunnah sehari namanya puasa hari Arofah. “ Puasa Hari Arofah menutup dosa 2 tahun, setahun yang lewat dan setahun yang akan datang. “. Bagi orang yang mengerjakan Ibadah Hajji tidak diperbolehkan puasa Arofah karena tgl. 9 itu orang yang mengerjakan Ibadah Hajji itu waktu dhuha berangkat dari Mina menuju Padang Arofah. Di Arofah Wukuf yang artinya berhenti dan Sholat Jama’ Ta’dim, Sholat Dhuhur dan dan Asyar dirangkap. 2 rokaat untuk sholat dhuhur dan 2 rokaat untuk sholat Asyar, namanya Sholat Jama’ Ta’dim. Di Arofah itu kita memperbanyak do’a, do’a yang paling utama ; Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka. Itulah Do’a yang paling utama, Do’a yang diucapkan di Padang Arofah Tgl. 10 Dzul-Hijjah selepas maghrib berangkat dari Padang Arofah menuju Muzdalifah, kemudian bermalam di Muzdalifah, Sholat Jama’ Takhir, Maghrib dan Isya’ artinya Sholat Maghrib di rangkap di waktu Isya’, Setelah Sholat Shubuh dari Muzdalifah menuju mustasfa masari ( hanam ), menuju Mina pada Tgl. 10 ( Hari Raya Qurban ), Melontar Jumroh di Aqobah dan berta’ali kemudian Tgl. 10, 11, 12, 13 berangkat ke Mekkah untuk Towaf Ifadah kemudian kembali lagi ke Mina dan bermalam 3 malam, lontar Jumroh awal, Tsani, Tsalits, setelah itu kembali ke Mekkah, melaksanakn Towaf Wadah ( Towaf pamit ), meninggalkan Baitulloh. HAKEKAT TITIK Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah, Hakekat adalah ikhlas, syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah, Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat, Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain. Maka, Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah, Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingatnya, Hakekat adalah bagaimana ikhlas, syukur dan sabar dalam kehidupan, Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya. Apabila, Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah, Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingat-Nya, Hakekat adalah bagaimana ikhlas, syukur dan sabar dalam kehidupan, Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya. Maka, Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah, Hakekat adalah ikhlas, syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah, Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat, Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain. Apabila dan Maka, Bersatu dalam Titik, Titik itu adalah Allah, Syari’at-Tarekat berawal dari Titik, Hakekat-Ma’rifat berakhir di Titik. Billahu, Fillahu, Bi Idznillahu, Minallahu, Allahu, Titik. BISMILLAHIRROHMANIRROHIM ( CONTOH JAUHAR ILMU) BISMILLAHIRROHMANIRROHIM. Bila dimaknai : " Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha penyayang ", maka ini adalah makna dhohir. Seandainya ada yang memaknai tidak sama dari makna diatas, maka orang awam yang mendengarnya akan mengkorok dan mereka akan berkata : " Nyimpang kamu !, Sembrono kamu ! ". Dikira ayat tersebut hanya mempunyai makna dhohir itu saja, padahal tiap-tiap satu huruf itu ada makna dhohir dan ada makna bathinnya. Huruf (BA`) ada makna dhohir, ada makna bathin. Huruf (SIN) ada makna dhohir, ada makna bathin. Huruf (MIM) ada makna dhohir, ada makna bathin. Kalau memang tidak ada makna bathinnya, maka untuk apakah Rosululloh bersabda : LIKULLI HARFIN MINHAA DHOOHIRUN WA BAATHINUN. Dan seandainya Alqur-an itu hanya mempunyai makna dhohir saja, maka berarti semua Firman-Firman Alloh itu sudah dicakup dan dimengerti oleh manusia, dan bila begitu maka selesai sudah kita mempelajari Alqur-an. Padahal satu ayat : BISMILLAHIRROHMANIRROHIM. itu kalau disingkap dalamnya untuk ditulis dengan air lautan sebagai tintanya, maka air satu lautan itu akan habis sedangkan makna ayat itu masih belum selesai ditulis semuanya. Tapi pada umumnya mereka itu merasa sudah selesai memaknainya. " Dengan Nama Alloh Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih ", Kalau makna yang seperti ini tidak akan menimbulkan kegoncangan orang awam karena sudah umum, tetapi kalau ada yang memaknai selain itu, maka dianggap halal darahnya. Rosululloh bersabda lagi : QOOLA ROSUULULLOOHI SHOLLALLOOHU `ALAIHI WASALLAM : IDZAA KATABTA BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM FABAYYANAS SIINA FIIHI. (`AN ZAID BIN TSAABIT). Artinya : Bersabda Rosululloh S.A.W. : " Ketika kamu menulis Bismillaahirrohmaanirrohiim, maka jelaskanlah huruf siin yang ada didalam ayat Bismillaahirrohmaanirrohiim tersebut ". Kalau hadits ini hanya difahami secara makna dhohir saja, maka mudah saja untuk mengamalkannya yaitu kita tinggal mengambil kertas dan menulisnya dengan memperjelas huruf siin nya, maka selesailah. Sedangkan kalau makna bathin itu jauh dari pengertian sesederhana itu. Bayangkan, huruf siin yang ada dalam Alqur-an itu berjumlah 5.799 huruf (kalau tidak percaya ya kamu hitung sendiri, tapi kalau sudah percaya ya tidak usah dihitung). Ini kan aneh, padahal huruf siin yang ada dalam Alqur-an itu sebanyak 5.799 huruf, tapi mengapakah hanya satu huruf siin yang diperintahkan oleh Rosuululloh untuk menjelaskan tulisannya, ini pasti ada apa-apanya. Huruf siin yang manakah yang diperin-tahkan untuk menjelaskan tulisannya ? Yaitu huruf siin yang ada dalam surat Alfaatihah. Padahal didalam surat Alfaatihah terdapat tiga huruf siin, yakni : 1. Huruf siin yang terdapat dalam ayat : BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM. 2. Huruf siin yang terdapat dalam ayat : IYYAAKA NA`BUDU WA IYYAAKA NASTA`IIN. 3. Huruf siin yang terdapat dalam ayat : IHDINASH SHIROOTHOL MUSTAQIIM. Padahal didalam surat Alfaatihah terdapat tiga huruf siin, tetapi mengapakah huruf siin yang diperintah menjelaskan hanya huruf siin yang terdapat dalam ayat paling awal dalam Alqur-an yaitu ayat : BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM Ini tidak mungkin kalau tidak ada maksud dibelakangnya, karena sama-sama huruf siin nya tapi mengapa hanya huruf siin yang terdapat dalam ayat Bismillaahirrohmaanirrohiim itu yang disuruh menulis dengan jelas, sedangkan huruf siin lainnya tidak. FABAYYANASSIINA FIIHI. Artinya:" Maka jelaskanlah huruf siin yang ada didalam ayat Bismillaahirrohmaanirrohiim tersebut ". Mengapakah diperintah menjelaskan huruf siin nya ? Dan yang dimaksud siin itu apa ? Inilah satu contoh Jauhar Ilmu. Seandainya masalah ini dibuka berarti membuka Jauhar Ilmu, dan akibatnya mungkin akan dilempari batu oleh orang awam. Cobalah diangan-angan ; bahwa huruf siin dalam surat Alfaatihah itu mati/sukun semua, dan letaknya ditengah kalimat semua. • (BISMI). • (NASTA`IIN). • (MUSTAQIIM). Akan tetapi kalau huruf siin yang terdapat di akhir surat dalam Alqur-an (surat An Naas) itu justru sebaliknya yakni huruf siin nya hidup semua, yaitu: • (BIROBBINNAASI). • (MALIKINNAASI). • (ILAAHINNAASI). • (MIN SYARRIL WASWAASI). • (ALKHONNAASI). • (SHUDUURINNAASI). • (MINAL JINNATI WANNAASI). Kecuali huruf siin yang tidak mati adalah : • (MIN SYARRIL WASWAASI). • (YUWASWISU). Jadi Jauhar Ilmu itu ada di tiap-tiap huruf, ada di wudlu, ada di sholat fardlu, ada di sholat tahajjud, ada di ibadah melempar jumroh, ada di Mina, ada di Muzdalifah, ada di thowaf, ada di ibadah mencium hajar aswad ( tapi kalau yang dicium itu hanya batunya saja maka tidak bisa menerima Jauhar Ilmu ), ada ibadah wuquf di `Arofah ( wuquf itu bahasa arab, yang artinya berhenti, seperti kalau bacaannya harus berhenti, ini namanya waqof ; ada waqof lazim, ada waqof wajib, ada waqof ja-iz). `Arofah artinya : perkenalan, bercakap-cakap. Bercakap-cakap dengan siapa ? Dengan Gusti Alloh. Lalu pernahkah kamu bercakap-cakap dengan Alloh ? Tidak pernah. Lho kok tidak pernah ? Alqur-an itu kan Firman Alloh yang ditujukan kepada kita : YAA AYYUHANNAASU. Artinya : " Wahai manusia ". Berarti kan Firman Alloh itu ditujukan kepada kita, dan apakah kita tidak terasa kalau telah didawuhi Alloh ? Kalau perasaannya mati maka pasti saja tidak terasa kalau didawuhi. Saya sendiri terkadang tidak terasa kalau yang saya baca itu adalah surat dari Alloh. Al Fatihah adalah surat, Al Baqoroh adalah surat, Qul Huwalloohu Ahad adalah surat. Surat dari Siapa ? Yaitu surat dari Alloh Yang Maha Rohman Rohim. Ketika kita membaca surat, disitu pengirimnya kan sudah jelas yakni : BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM. " Dengan Nama Alloh Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih ". Berarti ini adalah surat dari Alloh Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Akan tetapi tiap-tiap umat Islam ketika membaca surat Alqur-an itu belum tentu terasa kalau disurati oleh Gusti Alloh ; nomer suratnya ada, nomer ayatnya ada, dan judulnya juga ada. Bahkan kadang-kadang tidak disadari begitu, tapi malah memperalat dalil-dalil untuk menghantam orang, mengkufur-kufurkan orang, memusyrik-musyrikkan orang. Umpama : Benci kepada si A, maka ia mencari-cari dalil yang cocok untuk memukul orang yang dibenci. Jadi dalil Alqur-an tidak untuk hidayat, tapi diselewengkan untuk menjadi penguat menghantam yang dibenci, makanya akhir-akhir ini banyak dalil-dalil yang dibuat sebagai alat politik. Memang yang mengkhawatirkan dan menye-dihkan saat ini adalah Alqur-an sudah tidak dipercaya tapi koranlah yang menjadi pedoman. JALAN TERJAL PARA PEJUANG kirinya. Jalan itu sangat terjal. Ya, sangat terjal. Berliku, mendaki, dan penuh onak dan duri. Jalan yang menjadikan tak sempat berjalan dengan nyaman, selalu pincang. Sang tokoh panutan telah sempurna menyampaikan uswah yang tersirat dari potongan-potongan sejarah perjuangan beliau. Nabi Muhammad, nabi yang paling banyak diuji dan paling berat ujiannya. Cercaan kaum kafir Quraisy, puluhan perang yang harus dilewati, kematian orang-orang yang sangat dikasih. Dilempar kotoran unta oleh kafir Makkah, dilempari batu penduduk Thaif, diusir dari kampungnya, dipukul gerahamnya hingga retak, tujuh puluh sahabatnya terbunuh, diboikot beberapa lama hingga beliau hanya dapat memakan dedaunan, bahkan mengikat batu di perut untuk menahan laparnya. Jauh sebelum Muhammad, Nabi Zakariyah dibunuh kaumnya, Nabi Yahya dijagal, Musa ’Alaihi salam diusir dan dikejar-kejar bersama kaumnya, ibrahim dibakar hidup-hidup. Nabi Nuh diuji dengan ejekan dan olok-olokkan umatnya selama 950 tahun. tapi hanya sedikit yang mengikuti ajaran dakwahnya. tak lebih dari 70-an orang dan sepasang hewan ternak. Nabi Yusuf diuji dengan kecantikan Zulaikha, bahkan wanita itu menutup pintu dan menawarkan diri: “kemarilah” apa jawabannya? “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Bahkan penjara lebih ia sukai dibandingkan dengan melayani keinginan wanita tersebut. Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbankan ‘Ismail, anak yang sangat disayanginya. Nabi Ayub diuji dengan penyakit yang sangat menjijikkan, mengakibatkan isteri-isterinya tak sanggup untuk merawatnya lagi. Demikian Nabi Ayyub alaihissalam yang mengalami kepahitan hidup mengeluh kepada Tuhan, ingin menuntut keadilan dari Allah, Kemah-kemah para perusak sangat menyenangkan. Mereka yang mendurhakai Tuhan tampak tenang. Ini semua dilihat oleh mataku, didengar oleh telingaku Dan kuketahui sepenuhnya Tapi skenario itulah yang justru mempertajam mental mereka untuk melanjutkan jalan dakwah. Jalan pincang tetapi tetap tegar, tetap berjuang. Karena mereka sadar, ada ujung indah yang hendak dicapai. Ada panggilan lembut sang bidadari yang terus menggoda dan sayang untuk diabaikan. Mereka yakin, di sana, ada cinta yang siap menyambut. Cinta dari Allah tentunya. Selamat berjuang !! CAHAYA KEMATIAN "Adikku Si Bisu, aku merasa sudah dekat menemui ajal.” “Jangan berkata begitu, Kakang!” sahut istrinya. “Benar. Rasanya Nur Muhammad tiada tampak lagi di mataku. Kedudukan Rasul yang ada di bibirku pun sudah hilang tak berbekas. Aku yakin dalam waktu yang tidak lama, diriku akan dipundut oleh Sang Hyang Manon. Aku merasa masuknya Hyang pramana sudah mulai berkurang. Terasa sesak mendesak rasa ciptaku. Wahai adikku Si Bisu, antarkan aku ke jalan hidup!” pintanya dengan suara lirih. Si Bisu terdiam. Ia memandangi Ki Ageng Rolly lekat-lekat. Ia kemudian mendekap dan menempelkan bibirnya ke telinga Ki Ageng Rolly. Tampaknya Si Bisu alias Ki Ageng Adin berusaha menahan tangis. “Kakang Rolly, kuberitahukan kepadamu, apa sesungguhnya kematian itu. Tanda-tanda kematian yang Kakang ketahui itu palsu. Semuanya bohong. Tidak dapat dipercaya. Keberadaan Rasul di bibir juga tidak benar. Orang-orangan yang ada di mata yang dianggap sebagai Nur Muhammad juga tidak benar. Berkurang masuknya napas itu pun belum meyakinkan. Bagiku, yang menjadi pertanda kematian secara pasti dan tidak diragukan ialah uni nong anung unang. Coba, lihatlah aku!” katanya sambil melepas pelukannya. Uni nong anung unang adalah jalan hidup yang diajarkan oleh Siti Jenar. Kemudian dikembangkan oleh Ki Ageng Adin. Uni nong anung unang letaknya tepat di tengkuk. Ki Ageng Adin memegang tengkuk Ki Rolly. Ia terkejut, karena dari tempat uni nong unang ia dapat mendeteksi bahwa Ki Ageng Rolly tidak lama lagi menemui ajal. “Oh, benar Kakang, ketika kuraba tengkukmu, aku dapat merasakan bahwa sebentar lagi Kakang akan berpulang ke alam suci,” kata Ki Ageng Adin. Ia kemudian meminta Ki Ageng Rolly untuk mengubah posisi duduknya sehingga berada tepat di depan Ki Ageng Adin dengan cara membelakanginya. Kaki Ki Ageng Rolly diselonjorkan ke depan. Sepenuh hati cipta jiwanya diserahkan kepada Hyang Maha Kuasa. Napasnya semakin lama semakin pelan. Semakin lama semakin jarang. Ki Ageng Adin diam-diam menyimpan keharuan. “Kakang Rolly, sabarlah. Tak lama aku akan menyusul Kakang. Tunggulah di tepi samudera kenikmatan!” sela Ki Ageng Rolly. Sambil tersengal-sengal, Ki Ageng Rolly berkata sangat pelan dan hampir tak terdengar, “Jangan berkata begitu. Karena hal itu merupakan tekadnya orang Budha. Mengapa kita harus saling menantikan seperti bukan orang mukmin saja. Orang Budha menemukan surga, menjumpai istri dan anaknya. Bagi kita, orang muslim, yang pasti tidak menginginkan surga dan neraka. Tidak pula bersatu dengan isi yang sunyi. Tujuan kita hanyalah nikmat dan manfaat sejati. Adi Adin, segera antarkan aku!” “Syukurlah,” Ki Ageng Adin tersenyum. “Ternyata engkau tidak salah faham. Sebab aku sering melihat orang yang hendak menemui ajal selalu bertanya kepada guru, di mana tempat orang mati besok. Guru yang bodoh akan menjawab dengan mudahnya, bahwa yang keluar dari raga akan menuju ke Nur Muhammad. Hanya mereka yang bodoh yang puas dengan jawaban itu. Karena itulah aku menyela bertanya kepada Kakang, di mana Kakang akan dapat menyatukan diri. Ternyata Kakang berketetapan hati kokoh akan menyukma di uni nong anung unang. Aku bersyukur karena dunia-akhirat Kakang sependapat denganku, sesuai pula dengan pendapat Syekh Siti Jenar. Marilah, aku akan membantu Kakang untuk menyatukan diri dengan Uluhiyah,” kata Ki Ageng Adin. Ki Ageng Adin mencium ubun-ubun Ki Ageng Rolly seraya menutup pintu kehidupannya. Segera lenyaplah kehidupan gurunya itu. Yang tinggal sekarang hanyalah mayat yang dingin dan tak bisa apa-apa. Ki Ageng Rolly telah meninggal dunia. Jenazahnya memancarkan cahaya kegaiban. …KEUTAMAANNYA DZIKIR LAA ILAAHA ILLALLOH Ada beberapa qishoh yang diceritakan dalam hadits Nabi, didalamnya menerangkan tentang keutamaan-keutamaannya dzikir Laa ilaaha illalloh, diantaranya : Pada suatu saat, ketika Rosululloh berkumpul dengan para shohabatnya dan sedang menerangkan tentang berita adanya neraka dan bagaimana keadaannya, maka datanglah seorang pemuda yang hendak sowan kepada kanjeng Nabi. Konon pemuda itu didalam kehidupannya sehari-hari banyak bergelimang di lumpur kema‘shi-yatan. Dan secara kebetulan, pemuda itupun ikut mendengarkan cerita tentang neraka dari kanjeng Nabi tersebut. Begitu mendengar cerita tentang neraka, secara tiba-tiba pemuda itu langsung tersungkur jatuh dan tak sadarkan diri, sehingga para shohabat yang menyertai kanjeng Nabi dibuatnya bingung. Kemudian kanjeng Nabi mendekati pemuda itu, lalu jari telunjuk kanjeng Nabi menunjuk sampai menyentuh ke arah jantungnya pemuda tersebut, dan bersabda : QUL LAA ILAAHA ILLALLOH (bukan Qul Subhaanalloh), Kemudian pemuda itu sadar dan membaca : LAA ILAAHA ILLALLOH. Maka Nabi bersabda lagi : FABASYSYIRUU, FABASYSYIRUU, FABASYSYIRUU, DAKHOLTAL JANNAH. (diulang sampai tiga kali). Artinya : “ Gembiralah kamu, gembiralah kamu, gembiralah kamu, kamu akan masuk surga “. Kanjeng Nabi menunjuk ke arah pemuda itu memakai jari telunjuk kanan, oleh sebab itu janganlah kita sembrono dengan jari telunjuk kanan kita, mengapa ? Karena setiap tahiyyat dalam sholat, kita pasti membaca syahadat : ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLOH maka bila sampai pada saat membaca syahadat, ketika bersamaan dengan membaca ILLALLOH itulah jari telunjuk kanan kita harus menunjuk. Jadi menunjuknya itu bukan pada saat bacaan ASYHADU, tapi pada saat bacaan ILLALLOH. Padahal jemari itu banyak, mengapa ketika membaca ILLALLOH itu tidak memakai jari kelingking ? Mengapakah yang dipakai itu jari telunjuk ? Jari telunjuk ini jadi isyarah : ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLOH. Mengenai masalah ini memang ada asrornya. *** Kadang-kadang kita perhatikan ; banyak yang feqihnya itu tidak pas, misalnya : - Ketika tahiyyat, lututnya itu lebih maju dari pada jari telunjuknya atau sebaliknya yakni jari telunjuknya lebih maju dari pada lututnya. Adapun yang benar menurut ilmu feqih adalah antara lutut dan jari telunjuk itu majunya tidak saling melebihi, harus pas sejajar, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Anehnya, kadang-kadang malah dipermainkan, bila sampai pada bacaan ILLALLOH maka jari telunjuknya menunjuk ke depan tapi dengan digerak-gerakkan. - Contoh lagi yang pernah kita perhatikan : Ketika takbir itu gerakannya seperti menyambar nyamuk, kedua tangannya diangkat tidak sampai arah-arah telinga dan sendakepnya dibawah dada. Ini kalau dilihat tidaklah sedap potongannya dan garapannya kasar. - Ruku‘ pun juga begitu, jangan hanya njengongok saja seperti orang yang sakit punggung. - Begitu juga diwaktu salam, menengok ke arah kanan dan kiri itu sampai pipinya bisa dilihat oleh orang yang ada dibelakangnya. - Mengenai jaraknya shof dalam berjama‘ah juga begitu, jangan terlalu dekat sebab bila terlalu dekat bisa kesundul orang di belakangnya atau kepancal orang didepannya dan akibatnya bisa bertengkar. Hal-hal seperti yang pernah kita lihat diatas itu adalah tidak cocok dengan ilmu feqih yang diterangkan dalam Kitab I‘aanatuth Thoolibiin, Kitab Taqrib, Kitab Safiinatun Najaa. Dan kalau sampai ketahuan oleh orang ahli feqih maka pastilah nanti disalahkan. Oleh sebab itu, walaupun sedikit-sedikit, ya menurut kemampuan, kita haruslah menyesuaikan dengan ilmu feqih, biar tidak dimarahi orang awam. Bila anda melihat tayangan di televisi tentang orang yang sedang berjamaah sholat di Mekkah, modelnya juga bermacam-macam, contohnya : Kalau menurut ilmu feqih ; bila bergerak lebih dari tiga kali selain gerakan dalam sholat maka sholatnya itu bathal, akan tetapi sebagian orang asing yang ikut jamaah di Mekkah justru seenaknya, ini bagaimana ? Masak hukum itu tidak sama, kalau disini berbuat seperti itu hukumnya bathal atau tidak diterima, tapi kalau di Mekkah masak diterima, apakah begitu ? Kadang-kadang dalam tayangan televisi; di Mekkah itu kita jumpai orang yang sedang sujud kok dilangkahi. Bila diukur dengan kebudayaan di Indonesia, maka perlakuan seperti itu memang tidak sopan, tetapi kalau disana mungkin saja tidak. Walaupun mereka kita marahi : “ Kamu itu gila ya ! “, pasti mereka akan diam saja karena memang tidak tahu bahasanya, yang diketahui mereka adalah bahasa arab : “ Anta majnuun “. Memang pernah ada seseorang yang baru naik haji kemudian bertamu ke rumah kami, ia berkata: “ Semua orang sana (orang Mekkah) itu tidak punya kesopanan“. Lho, orang yang di Mekkah itu bukan semuanya orang Arab, tapi ada orang India, ada orang Eropa, ada orang Asia, dari bermacam-macam negara kumpul jadi satu, oleh sebab itu apabila kita hendak pergi menunaikan ibadah haji, kita haruslah siap mental, karena kebudayaannya orang yang pergi haji itu bermacam-macam. 3 PESAN JIBRIL "Bersabda Rosulullohi s.a.w : Datang Malaikat Jibril a.s kepadaku, dia berkata :Wahai Muhammad hiduplah sekehendakmu, maka sesungguhnya kamu akan mati. Cintailah o-rang sekehendakmu, maka sesungguhnya kamu akan dipisahkan. Dan beramalah sekehendakmu, maka sesungguhnya kamu akan diberi balasannya". ( Jami'ush Shoghir jilid I bab huruf "alif " / hal 8 ) Dalam hadis diatas diterangkan : Malaikat Jibril datang kehadapan Nabi Muhammad s.a.w dan berkata : 1. Hiduplah sekehendakmu atau boleh kamu hidup 50 tahun /100 tahun / 1000 tahun tapi akhirnya kamu pasti akan mati. Jadi setiap orang yang hidup pastilah diakhiri dengan mati. Tidak ada orang yang tidak akan mati. Mau mati ya mati, tidak mau mati ya tetap mati, benci mati ya mati, senang mati ya mati. "Dan mati datang dari tiap-tiap tempat" Oleh karena mati itu suatu kepastian, maka kalau ada orang yang takut mati ya jangan hidup sebab mati pasti melalui hidup. Kalau tidak mau hidup ya mati saja. Seandainya didunia ini tidak ada yang mati, bagaimana jadinya dunia ? Mungkin akan terjadi manusia makan manusia. Karena kehabisan makanan disebabkan banyaknya manusia. 2. Cintailah orang sekehendakmu tapi kamu pasti akan dipisahkan oleh mati. Boleh mencintai ibu, bapak, istri, anak, rumah dan lain sebagainya, pasti akan dipisahkan. Tapi bila mencintai Alloh tidaklah akan pisah. 3. Beramalah sekehendakmu, maka sesungguhnya kamu akan diberi balasan. Amal buruk dibalas buruk, amal baik dibalas baik. Bila banyak dzikir, nanti bertemu dengan dzikir. Bila dzikirnya jahar Nafi Isbat nanti bertemu dengan jelmaan dzikir yang ganteng, gagah dan wangi. Dan bila dzikirnya siri Ismu dzat nanti bertemu dengan jelmaan dzikir yang halus dan lemas. Oleh sebab itu wajiblah banyak-banyak dzikrulloh, nanti kita akan bisa mempermudah perjalanan didunia dan mendapat kesenangan di akherat. Bila orang mukmin wafatnya membawa dzikrulloh, segalanya akan disiapkan (nikmat disiapkan di akherat seluas-luasnya) termasuk pakaian ruhaniah disiapkan, istri-istri yang cantik disiapkan dsb. Sedangkan didunia hanyalah bagaikan mimpi saja. Tapi masalah kebaikan itu banyak godaannya. Sebagai contoh : kalau diajak ngobrol biasanya tidak ngantuk tapi kalau diajak dzikir, ngantuk. Begitu juga waktu Jum'atan biasanya banyak yang ngantuk. Bila masuk masjid syareatnya kaki kanan dulu, kalau keluarnya, kaki kiri dulu. Menurut hakekat, keluar-masuk tetap shiddiq. Kalau bisa ya syareat, ya hakekat. MENGHADAPI MATI. Apakah yang dipersiapkan bila ada berita akan ada tamu agung?. Tentunya yang dipersiapkan ialah menata sebaik mungkin atau bersih-bersih. Begitu juga bila ada alamat akan wafat maka yang harus dipersiapkan hendaklah dzikir yang banyak dan dzikirnya ditujukan ke hati (untuk membersihkan hati). Ini kalau sudah ada alamat akan segera wafat dan alamatnya itu banyak, diantaranya : Sering-sering mimpi tapi tidak jelas. SINGKATNYA HIDUP DIDUNIA. Dari 124.000 Nabi yang paling panjang umurnya ialah Nabi Nuh a.s. Nuh diangkat jadi Nabi usia 40 tahun, lalu da'wah selama 950 tahun (hanya dapat 70 orang). Berhubung 950 tahun yang beriman hanya 70 orang, lalu Nuh berdoa pada Alloh. " Ya Tuhanku, jangankan Engkau sisakan diatas bumi seorangpun dari orang-orang kafir " (Surat Nuh ayat 26) Sehingga habislah manusia diseluruh dunia, yang tertinggal hanya yang diperahu. Setelah kejadian banjir 6 bulan itu, Nabi Nuh masih hidup 60 tahun. Jadi usia Nabi Nuh adalah 1050 tahun. (Ini diterangkan oleh Shohabat Ibnu Abbas dalam kitab Tafsir Durul Mansur). Waktu akan wafat, Malaikat maut datang kepada Nabi Nuh dan bertanya : "Wahai nabi yang paling banyak umurnya, bagaimana kamu menemukan dunia dan kenikmatan dunia ?". Jawab Nuh : "Didunia itu ibaratnya seperti seorang laki-laki yang masuk rumah yang rumah itu mempunyai 2 pintu, yaitu : Pintu kelahiran (pintu masuk) dan pintu kematian (pintu keluar). Sedangkan waktu kita berhenti antara 2 pintu tersebut hanyalah sekejab, setelah itu keluar (mati)". Jadi menurut Nabi Nuh, usia yang 1000 tahun lebih itu hanyalah sekejab kalau dibandingkan dengan umur dunia. Bila 1000 tahun itu disebut sekejab, apalagi dengan usia kita yang hanya rata-rata dibawah 100 tahun, tentulah lebih sekejab. Kesempatan manusia beramal. Menurut kesehatan, tidur yang bagus itu sehari semalam 8 jam. Jika usianya 60 tahun berarti tidurnya tercatat 20 tahun. Bila tidurnya 20 tahun berarti yang tidak ada catatannya 20 tahun. Sedangkan yang 40 tahun dibagi 2, sebagian ibadah dan sebagiannya lagi bekerja. Itupun catatannya ditulis mulai baliq. Sebelum baliq tidak dicatat. Kadang-kadang ada yang berpendapat : Masih muda kok taubat, kalau sudah tua saja. Lha masih kuat tidak mau taubat apalagi kalau sudah lapuk (tidak kuat)?. Tamsil orang mukmin yang keluar dari dunia. Nabi Muhammad bersabda : Orang mukmin yang keluar dari dunia itu ibaratnya seperti bayi yang keluar dari perut ibunya. Hal ini supaya di angan-angan sendiri, jika ingin tahu "Sangkan Parane Dumadi". Akan tetapi biasanya orang-orang itu tidak mau sulit-sulit, maunya terima matang saja. PENGERTIAN MA’RIFAT MA'RIFAT berasal dari kata. "ara fa" yang arti¬nya: mengenal. Menurut "Imam Al-Ghozali", arti pengenalan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul karena musyahadah (penyaksian). -Maka orang arif ialah orang yang telah mengenal Dzat, sifat, asma, dan af'al Allah dengan perantaraan musya¬hadahnya (penyaksian/bukti yang nyata). -Seorang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadahnya, namun hanya dengan keper¬cayaan biasa saja. -Orang yang tingkat Ma'rifatnya tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata. Oleh karena itu Allah dalam pandangan mereka itu jelas dan nyata, maka menyebabkan adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tertinggi clan yang paling utama. Berbeda dengan orang awam, yang belum mencapai tingkat Ma'rifat, bagi mereka Allah itu memang tiada terwujud atau tidak bisa di¬pandang melalui pandangan lahiriah. Adapun pengertian menurut seorang ahli Ma'ri¬fat bernama "Hallaj" mengartikan dalam beberapa pepatah sebagai berikut: "Tak seorang-pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya". "Tak seorang-pun bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati-nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri". "Tak seorang-pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya". "Tak seorang-pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya". "Tak seorang pun berbakti pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih-Nya". Dengan demikian, berma'rifatullah menjadikan kita semakin mantap keyakinannya, semakin teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap ALLAH, Tuhan semesta alam sehingga mencapai "ISBATULYAQIN" yaitu yakin yang seyakin-yakin¬nya setelah adanya pembuktian nyata. Bagi para penganut Nabi Muhammad saw. tingkat pelajaran dibagi 4 (empat) tingkatan yaitu: MA'RIFAT HAKEKAT TAREKAT SYAREAT KETERANGAN: MARIFAT : Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam meng-esakan Allah. Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat Menyaksikan Nur Allah ( SEMBAH SUKMA) HAKEKAT : Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesadaran Mental Ber¬orientasi pada Dimensi-dimensi Atas¬an (Budhi Luhur), (SEMBAH JIWA/ RASA). TAREKAT :Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syareat, yakni berbuat sesuai dengan yang diatur oleh syareat. Kesadaran Mental Berorientasi pada Dimensi-dimensi Bawahan (Bawah Sadar), (SEMBAH CIPTA). SYAREAT : Pengetahuan terhadap jalan-jalan me¬nuju kepada Allah. Kesadaran Ber¬perilaku Hidup Sehari-hari yang Ber¬orientasi kepada Norma-norma Bu¬daya/Agama/Hukum dan Aturan-aturan Sosial, Lingkungan yang her¬laku, (SEMBAH RAGA/ROGO). Syari'at tingkat Wajjibulyaqin Tharikat tingkat Ainulyakin. Hakikat tingkat flaqquiyaqin. Ma'rifat tingkat Isbatulyaqin Tidur Sehat ala Rasulullah SAW Dan Kami jadikan tidurmu sebagai pelepas lelah bagimu (An-Naba’). Dengan kata lain tidur merupakan rutinitas harian, juga kebutuhan mendasar dalam hidup. Dengan tidur, otot-otot yang digunakan beraktifitas seharian akan mengalami relaksasi dan sel-sel yang rusak akan mengalami perbaikan. Tidur Rosulullah saw merupakan cara tidur yang sangat baik bagi kesehatan, posisi dan waktu yang beliau pilih untuk tidur sangat bermakna bagi kesehatan. Ibnu Qayyim berkata, Barangsiapa yang memperhatikan pola tidur Rasulullah dan bangun beliau, niscaya mengetahui bahwa tidur beliau sangatlah baik, cukup dan ber-manfaat untuk badan, organ, dan kekuatan. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah, suri tauladan yang baik bagimu, bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak berdzikir kepada Allah. (QS Al-Ahzab; 33 : 21). Karena tidaklah beliau berbuat atau berbicara karena nafsu ataupun keinginannya sendiri, melainkan atas petunjuk dan bimbingan Allah. Beliau senantiasa bersiwak (menggosok gigi) dan berwudhu’ sebelum tidur. Hal ini diungkapkan dalam hadis shahih dari Imam Bukhari, Dari Al-Bara’ bin Azib ra, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Apabila engkau hendak mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhu’lah sebagaimana engkau wudhu’ untuk shalat. Kemudian tidurlah diatas bahumu sebelah kanan”. Sayyidah Aisyah ra. berkata: “Bila Rasulullah SAW berbaring di tempat tidurnya, beliau kumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniup keduanya dan dibaca pada keduanya surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas. Kemudian disapunya seluruh badan yang dapat disapunya dengan kedua tangannya, mulai dari kepala, muka dan bagian depan dari badan. Beliau lakukan hal ini sebanyak tiga kali.” (HR. At-Tarmidzi). Dari Ibnu ’Umar, Rasulullah SAW telah bersabda: “Barangsiapa tidur dimalam hari dalam keadaan suci, maka malaikat akan tetap mengikuti, lalu ketika ia bangun, niscaya malaikat itu akan berucap ’Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan, karena ia tidur dimalam hari dalam keadaan suci” (Riwayat Ibnu Hiban). Al-Bara’ bin ‘Azib ra. berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW bila berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa: Robbi qinii ‘adzaabaka yauma tab’atsu ‘ibaadaka.” (HR. At-Tarmidzi). Hudzaifah ra. berkata: “Bila Rasulullah SAW berbaring di tempat tidurnya, maka beliau berdoa: Alloohumma bismika amuutu wa ahyaa. Dan jika bangun dari tidur, beliau berdoa: Alhamdu lillaahil-lladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur” (HR. At-Tarmidzi). Dari hadits-hadits tersebut dapat di simpulkan bahwa cara tidur Rasulullah saw adalah sebagai berikut, • Bersiwak (menggosok gigi) dan berwudlu’ sebelum tidur • Membaca Surat al-Ihlash, al-Falaq dan an-Nas, kemudian ditiupkan pada kedua telapak tangan, lalu di usapkan pada seluruh anggota badan yang bisa di usap • Berdo’a “Bismika Amutu wa Ahya” • Tidur dengan posisi miring kekanan, telapak tangan kanan diletakkan di bawah pipi kanan dan hendaknya menghadap ke Kiblat seraya berdoa: Robbi qinii ‘adzaabaka yauma tab’atsu ‘ibaadaka.” • Bangun tidur berdo’a “Alhamdulillaahil-ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur.” Posisi tidur miring kesebelah kanan, selain bermanfaat bagi pencernaan juga bermanfaat untuk jalan nafas. Sebab tidur miring dapat mencegah jatuhnya lidah kebelakang yang dapat menyumbat jalan nafas. Lain halnya jika tidur pada posisi terlentang maka relaksasi lidah pada saat tidur dapat mengakibatkan penghalangan jalan nafas, penampakan dari luar berupa mendengkur. Orang yang mendengkur mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen malah kadang-kadang dapat terjadi henti nafas untuk beberapa detik yang akan membangunkan orang yang tidur dengan posisi demikian. Orang tersebut biasanya akan bagun dengan keadaan pusing karena kurangnya pasokan oksigen ke otak. Tentunya ini sangat mengganggu tidur kita. Untuk jantung. Tidur miring kesebelah kanan membuat jantung tidak tertimpa organ lainnya, ini karena posisi jantung yang memang berada lebih disebelah kiri. Tidur bertumpu pada sisi kiri menyebabkan curah jantung yang berlebihan karena darah yang masuk ke atrium juga banyak, sebab paru-paru kanan berada diatas sedangkan paru-paru kanan mendapatkan pasokan darah yang lebih banyak dari paru-paru kiri. Dan untuk kesehatan paru-paru, paru-paru kiri lebih kecil dibandingkan dengan paru-paru kanan. Jika tidur miring kesebelah kanan, jantung akan jatuh kesebelah kanan, itu tidak menjadi masalah karena paru-paru kanan besar, lain halnya kalau bertumpu pada sebelah kiri, jantung akan menekan paru kiri yang berukuran kecil, tentu ini sangat tidak baik. Sedangkan menggunakan telapak tangan kanan sebagai bantal, tentu sering kita dengar bahwa posisi leher sangat mempengaruhi kualitas tidur. Leher yang tidak lurus pada saat tidur menyebabkan sakit leher pada saat bangun dan biasanya ini bisa lama sehingga mengganggu aktifitas. Tidur dengan telapak tangan sebagai bantal akan membuat kepala, leher dan punggung tercipta garis lurus. Demikianlah sedikit dari uswah dan hikmah tidur Rasulullah saw yang saya dapat dari beberapa kitab, buku dan situs-situs lain yang membahas tidur Rasulullah saw. Sebenarnya masih banyak sekali ajaran, anjuran dan uswah dari Rasulullah saw dalam hal ini yang tidak bisa saya tuliskan semua disini, karena menurut hemat saya, apa yang tertulis disini lebih mudah untuk dilakukan oleh orang-orang awam seperti saya. PERJANJIAN IBADAH BENTUK WUJUD MANUSIA ITU MENGANDUNG PERJANJIAN IBADAH Banyak yang berpendapat dan meyakini kalau Alloh “ Tidak butuh disembah “ dan banyak juga alasan-alasanya. Semuanya benar dan bagus. Coba googling, banyak paparan dari saudara-saudara kita tentang ini. Kami coba memaparkan dari sisi yang berbeda. Tetap dari ayat : WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLAA LIYA`BUDUUN Coba diangan-angan ; dalam susunan ayat ini ; antara kalimat LIYA`BUDUUN ( untuk ibadah kepadaKu ) dengan kalimat KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ( Aku menciptakan jin dan manusia ) itu lebih dahulu mana ? Kita bisa lihat sendiri. Kan lebih dahulu KHOLAQTU. Bila kita pelajari : Dahulu manakah antara wujud kita dengan perintah sholat itu sendiri ? Jelas lebih dulu wujudnya. Dan didalam wujud manusia itu ada perjanjian, di tangan saya dan tangan saudara itu ada perjanjian : Contoh : Manusia diperintah sholat. - Dalam sholat diperintah berdiri tegak, maka manusia diberi dua kaki, ini pas. - Dalam sholat diperintah ruku`, maka manusia diberi model kondisi kepala sampai bokong, ini bentuk model ruku`. - Diperintah sujud, maka manusia diberi model sujud, yaitu lutut ada tekukannya dan tekukannya itu ke belakang, bokong bisa menekuk ke depan, ini adalah bentuk model sujud. Seandainya bokong itu tekukannya ke belakang maka bisa nggeblak. - Diperintah takbir, maka manusia diberi ujung jari sampai siku. - Diperintah sendekap , maka manusia diberi tangan yang bisa menekuk sedemikian rupa. Jadi bentuk model manusia itu adalah bentuk sholat, dan sholat itu intinya seluruh ibadah. Maka jelas bahwa bentuk jasmani seluruh manusia itu atau onderdilnya manusi itu pasti cocok dengan perencanaan ' LIYA`BUDUUNII ', sesuai dengan perintah ibadah, ini mengandung janji. Jadi kalau ada manusia tidak mau sholat maka tidak cocok dengan bentuk-nya, bentuknya sholat tapi tidak mau sholat. Dalam sholat juga diperintah salam : " Assalaamu`alaikum warohmatulloohi wabaro-kaatuh " menengok ke kanan. " Assalaamu`alaikum warohmatulloh " menengok ke kiri ( tanpa " Wabarokaatuh " ). Maka manusia diberi leher yang bisa menengok ke kanan dan ke kiri, ini adalah potongan salam, juga potongan dzikir nafi isbat. Ditarik dari pusar ke otak, terus kekanan, lalu lafadz " Alloh " masuk ke hati. Tapi ada juga yang lupa dengan petanya, sampai dzikirnya itu mutar linkaran, apa saking cepatnya ? Pernah ada salah seorang saudara yang ditanya : " Lho kok cepat, ser-ser, illalloh-illalloh, la ilaaha-nya tidak terdengar ?". Jawabnya : " Saya kalau pelan-pelan itu hati saya tidak terang, ibarat lampu sepeda itu lho , kalau jalannya cepat maka lampunya terang ". Ini namanya dalil lampu. Pernah lagi ada seseoarng mau masuk thoriqoh, tapi sangsi dengan dzikirnya: " Dzikir kok gerak-gerak kepalanya, apa begitu itu bisa khusyu` ?. Saya mau masuk Thoriqoh ini kalau dzikirnya itu diam saja ". Kami jawab : " Kalau sampeyan maunya seperti itu ya cari thoriqot yang diam saja, karena gerak dalam dzikir ini sudah aturan. Kalau dihubungkan : Apa dzikir yang seperti itu bisa khusyu` ?. Lalu sekarang saya tanya : Al Qur-an menerangkan WA AAQIMISH SHOLAATA LIDZIKRII. Artinya : " Tegakkan sholat untuk dzikir kepadaKu ". Sholat itu dzikir, padahal sholat itu tidak satu gerakan saja tapi gerakannya banyak, ada berdiri, ruku`, duduk, sujud, tolah-toleh salam, apakah dengan gerakan seperti itu tidak bisa khusyu` ? Kalau dzikir Laa ilaaha illalloh seperti itu salah, maka sholat itu juga salah. Dzikir Laa ilaaha illalloh ini menyontoh sholat, sempalan dari sholat. Apakah boleh sholat itu cukup di hati saja tanpa berdiri, ruku`, sujud, duduk ? Boleh, bila wujud sampeyan itu hati saja tidak punya jasmani. Segalanya dibathin saja ; sebelum sholat sudah sholat, sebelum berak sudah berak, ya nanti sampeyan yang kebelet ". PENGERTIAN IBADAH ITU LUAS Ibadah itu mengabdi kepada Alloh. Ibadah itu melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-larangan Alloh. Perintah-perintah Alloh itu terbagi dua : 1. Perintah-perintah Alloh yang bersifat dhohir, seperti : perintah sholat, puasa, haji. 2. Perintah-perintah Alloh yang bersifat bathin, seperti : perintah shobar, tawakkal, ridlo. Larangan-larangan Alloh juga terbagi dua : 1. Larangan-larangan Alloh yang bersifat dhohir, seperti : larangan mencuri, larangan bicara kotor, dll. 2. Larangan-larangan Alloh yang bersifat bathin, seperti : larangan sombong, riya`, hasud, dll. Aktifitas hidup kita kalau kita niati melaksanakan perintah Alloh, maka itulah namanya ibadah, seperti makan dan minum itu dalam Al Qur-an diperintah : KULUU WASYROBUU WALAA TUSRIFUU. Artinya:" Makanlah dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan ". Makan dan minumnya ini ibadah, karena niat melaksanakan perintah.( " Kuluu wasyrobuu " ). Menghindari makan dan minum berlebih-lebihan itu juga ibadah, karena niat menjauhi larangan Alloh. ( " Walaa tusrifuu " ). Kita juga diperintah bersuci, mencuci pakaian, mencuci badan, mencuci tempat, semua itu adalah ibadah asalkan niat kita melaksanakan perintah Alloh. Bekerja juga ada perintahnya : WABTAGHUU MIN FADL-LILLAAHI Maka bekerja itu adalah ibadah bila diniati melaksanakan perintah Alloh. Jadi ada ibadah dibidang ekonomi, da`wah, pertanian, perindustrian. Apakah menjadi pegawai negeri, guru, petani, asal niat melaksanakan perintah Alloh, sebab memang ada perintah dari Alloh, maka semua itu masuk lingkup ibadah. Seperti Nabi bersabda : UUTUL AJIIRO QOBLA AN YAJIIFA `ARQUHU. Artinya : " Berikanlah upahnya kaum buruh itu sebelum kering keringatnya ". Ini hadits mengenai perburuhan. Oleh sebab itu haknya kaum buruh jangan dientit, kadang-kadang kewajiban sudah dilaksanakan tapi haknya tidak disampaikan. Jadi seumpama kita membayari karyawan maka ini termasuk ibadah, karena memang ada perintahnya. Melindungi tanah air, itu ibadah. Memajukan kesejahteraan umum, itu ibadah. Melindungi segenap bangsa, itu ibadah. Mencerdaskan kehidupan bangsa, itu ibadah. Rajin tholabul ilmi, itu ibadah. Mendidik supaya pintar, itu ibadah, ibadah sebagai guru untuk mendidik orang. Walhasil ibadah itu macam-macam, tidak hanya sholat dan zakat saja. Jadi kalimat " ibadah " itu mencakup keseluruhan, dan inilah tujuan manusia diciptakan oleh Alloh Ta`ala. TUJUAN MANUSIA DICIPTAKAN Untuk masalah ibadah, Imam Ghozali mengambil sumber dari ayat : WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLAA LIYA`BUDUUN. Artinya : " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk ibadah kepadaKu ". Mengenai makna huruf lam pada kalimat ' liya`buduun ' ini masih silang pendapat ; apakah ini ' lam lishshoiruroh ' atau ' lam lil ghoyah ' , ataukah ' lam lil ghorodl '. Satu pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawab oleh manusia : Untuk apakah manusia itu ada di dunia ? atau Apakah tujuan manusia hidup di dunia ini ? Satu pertanyaan ini sudah dicoba dijawab oleh orang yang pandai-pandai. Sejak dunia berkembang diatas bulatan bumi ini , sudah banyak bintang-bintang manusia yang namanya sudah tersohor didunia ini seperti : Sokrates, Plato, Aristoteles, mereka ini ahli-ahli filsafat, semuanya ingin menjawab satu pertanyaan ini. Bahkan ada seorang sarjana, titelnya profesor dari Belanda, ia ahli ilmu pasti, maka setelah usianya itu 70 tahun, dia berguling-guling diatas ranjang kematian. Dengan menangis dia berkata : " Ya Tuhan, saya telah dilahirkan ke dunia ini tetapi sampai sekarang saya tidak tahu untuk apa saya dilahirkan ?. Ya Tuhan, setelah saya dilahirkan, saya hidup sampai 70 tahun, namun sampai sekarang saya tidak mengerti untuk apa saya dihidupkan sampai 70 tahun ini ?. Ya Tuhan, sekarang saya ini menjelang mati, namun sampai sekarang saya juga tidak mengerti untuk apa saya dimatikan ?. Mengapa tidak dihidupkan selama-lamanya didunia ini ? ". Seorang profesor tersebut tidak tahu jawaban tiga macam pertanyaan ini, sampai-sampai dia menangis, yaitu : Untuk apa saya dilahirkan ? Untuk apa saya dihidupkan ? Untuk apa saya dimatikan ? Ini satu keuntungan kita sebagai umat Islam karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu dijawab oleh Nabi Muhammad melalui Al Qur-an, sebab pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh manusia. " Apakah tujuan hidup manusia ? ". Tidak mungkin manusia bisa menjawab pertanyaan ini. Apa sebabnya manusia tidak bisa menjawab satu pertanyaan ini ? Karena manusia itu tidak ikut menciptakan dirinya sehingga tidak tahu, yang tahu tujuan adalah Yang menciptakan manusia. Misalnya : Anda membuat lampu. Lalu seandainya lampu itu ditanya : " Hai lampu, apa perlunya kamu diciptakan ? ". Maka jelas lampu itu tidak mengerti. Seandainya lampu bisa berbicara mungkin dijawab: " Tanyakan saja kepada yang membuat aku ". Demikian pula bila kursi ditanya : " Hai kursi, apa tujuan kamu diciptakan ? ". Jawab kursi : " Tanyakan saja kepada tukang-tukang yang membuat kursi itu karena aku tidak mengerti. Aku ini asalnya dihutan, lalu ditebang, digergaji, dipasrah, dibentuk-bentuk, akhirnya aku jadi kursi, tapi aku tidak tahu untuk apa aku ini dibuat ". Jadi untuk apa manusia diciptakan itu yang tahu adalah Yang menciptakan manusia itu sendiri yaitu Alloh, oleh sebab itu tanyalah kepada Alloh. Bagaimana cara bertanya kepada Alloh ? Yaitu melalui Al Qur-an. Al Qur-an itu isinya 114 surat, dan yang disurati itu manusia. Mungkin setiap kita membaca Al Qur-an, kita jarang merasa bahwa yang kita baca itu adalah surat dari Alloh dan yang disurati adalah manusia. Jadi tujuan manusia diciptakan oleh Alloh adalah 'liya`buduun ' supaya manusia itu ibadah kepadaKU. Alam semesta untuk manusia, dan manusia untuk ibadah kepada Alloh. Jadi seandainya tidak ada manusia otomatis tidak ada alam semesta, untuk apa dunia ini tanpa manusia ? Adapun manusia itu untuk ibadah, seandainya tidak ada ibadah maka tidak perlu ada manusia. Jadi memang betul apa yang diterangkan oleh Imam Ghozali tersebut. MANUNGGALE GUSTI LAN KAWULO WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLAA LIYA`BUDUUN. Satu ayat saja begitu sulitnya. Ayat ini kalau dibuka secara ilmu haqeqat, maka orang yang membuka itu darahnya dianggap halal oleh orang awam. Bila dibuka secara ilmu haqeqat, maka bahasannya itu luas, sampai mengenai manunggale gusti lan kawulo, manunggale kawulo lan gusti, padahal masalah inilah yang sangat dibenci oleh orang feqih. Manunggale gusti lan kawulo itu berbeda dengan manunggale kawulo lan gusti. Apakah manunggale gusti lan kawulo itu seperti manunggale air garam dengan asinnya, apakah seperi manunggale madu dengan manisnya, apakah seperti manunggale api dengan panasnya? Tidak seperti itu. Gusti Alloh itu tidak seperti itu. Ayat " WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLAA LIYA`BUDUUN " ini kalau dibuka akan sampai ke situ. APAKAH ALLAH BUTUH DISEMBAH ? WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLAA LIYA`BUDUUN. Coba kita cermati satu ayat ini : Apakah Alloh Ta`ala itu butuh disembah , apakah tidak ? Bila dijawab " tidak butuh disembah " , buntutnya sulit . Dan bila dijawab " butuh disembah ", buntutnya juga sulit. Bila dijawab : " Butuh disembah " Kalau memahami ingin mencari mudahnya saja, yaitu : 1. ' Liya`buduun ' artinya : supaya beribadah kepadaKu. 2. Yang tidak beribadah kepada Alloh , diancam oleh Alloh dengan neraka. 3. Yang mau ibadah akan diberi pahala surga. Bila dilihat secara sempit seperti ini, maka akan mengambil kesimpulan : " Oh kalau begitu Alloh Ta`ala itu mempunyai kebutuhan , dan oleh karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya, maka kebutuhannya itu dipenuhi oleh manusia. Berarti Alloh Ta`ala itu butuh disembah, oleh sebab itu kalau tidak menyembah akan disiksa ". Kalau tujuan Alloh Ta`ala menciptakan manusia itu untuk ibadah, berarti jelas Alloh Ta`ala itu mempunyai kebutuhan yaitu butuh disembah. Tapi pendapat ini ada kelemahannya, yaitu : 1. Orang yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan itu namanya " faqir " , padahal Alloh Ta`ala itu "Maha Kaya, Ghoniyyun mutlak ". 2. Kenyataannya ada manusia yang ibadah, tetapi banyak manusia yang tidak ibadah. Bila ditinjau dari segi manusia yang ibadah, berarti tujuan Alloh menciptakan manusia itu tercapai tujuannya, sampai lestari. Tapi bila ditinjau dari segi manusia yang tidak ibadah, berarti tujuan Alloh menciptakan manusia itu gagal. Alloh koq gagal.. Inilah sulitnya kalau dikatakan : " Alloh Ta`ala itu butuh disembah ". Bila dijawab : " Tidak butuh disembah ". Kalau dikatakan " tidak butuh disembah ", mengapa Alloh Ta`ala perintah kepada manusia untuk ibadah : LIYA`BUDUUNII Artinya :" Nyembaho siro kabeh marang Ingsun " ("NII" itu maknanya Ingsun ). Dan lagi, kalau memang tidak butuh disembah, mengapa kok mengancam segala : " Sembahlah Aku, kalau kamu tidak menyembah-KU maka Kumasukkan ke neraka, tapi kalau menyembahKu maka Kumasukkan ke surga ". Ini menunjukkan kalau butuh, sampai-sampai manusia itu disiksa bila tidak mau menyembah. Tetapi bila dikatakan Alloh itu butuh berarti Alloh itu " tidak Ghoniyyun mutlak ". Sebaliknya, bila dikatakan Alloh itu tidak butuh, mengapa manusia itu dipaksa dan diwajibkan ibadah ?. Sebetulnya tidak dipaksa tetapi sudah ada perjanjiannya. Perjanjian gimana? Ikuti posting lanjutannya.. SLOGAN IBLIS..: “AKULAH YANG TERBAIK” Teringat sebuah kisah yang di jabarkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran tentang sebab terkutuknya Iblis. Yaitu disaat iblis tidak mematuhi perintah Allah SWT untuk bersujud. Maka bersama itu juga iblis menjadi makhluk pertama yang terkutuk. Ada yang perlu dicermati dibalik penolakan iblis untuk sujud, yang karenanya iblis menjadi terkutuk. Yaitu karena iblis merasa lebih baik dari Nabi Adam AS dan berkata "Ana Khoirun Minhu"(Aku lebih baik dari Adam). Disaat iblis menojolkan ke-AKU-anya itulah awal bencana untuk Iblis. Bisa kita membuat suatu gambaran akan sebuah cara menjalani hidup iblis yang salah yang terbaca pada masa kehidupan Nabi Adam dengan iblis. Yaitu cara hidup yang mengikuti faham AKU. Faham AKU adalah faham iblis yang kemuliaan Islam sangat menentangnya. Faham AKU adalah faham kesombongan. Dan inilah yang pernah di isyaratkan Nabi Muhammad SAW bahwa yang menganggap dirinya bersih adalah yang terjerumus dalam jurang kehinaan dan tidak ada yang bisa mengangkatnya kecuali melawan hawa nafsunya yang senang membanggakan diri. Saat ini kita harus lebih banyak berdoa untuk diri kita sendiri dan saudara-saudara kita yang diam-diam telah menganut fahan AKU ini. Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dan mereka dari terjerumus dalam kehinaan faham AKU ini. Karena saat ini kita sungguh dihadapkan pada suatu suasana yang telah menyuburkan faham AKU ini. Yang telah di ajarkan Islam, jika ada pengangkatan pemimpin atau orang-orang yang akan mewakili kaum muslimin dalam sebuah tatanan atau tugas besar, yang ada dalam Islam adalah Tazkiyah (rekomendasi) yang di berikan kepada seorang calon pemimpin dan wakil rakyat dari kaum muslimin yang mempunyai wawasan agama dan ketaqwaan. Artinya penilain baik dan tidaknya seorang calon pemimpin dan wakil rakyat adalah di tetuntukan oleh khalayak yang beriman dan mempunyai wawasan tentang tugas seorang pemimpin dan wakil rakyat. Inilah hal terpenting yang membedakan antara politik Islam dan bukan Islam. Di dalam Islam ada Syuuro yang sering diterjemahkan oleh sebagian orang dengan demokrasi. Padahal sesungguhnya sangat berbeda antara demokrasi dengan Syuuro. Islam tidak mengenal demokrasi karena demokrasi tidak akan menghantarkan kepada pemilihan pemimpin yang benar. Syuroo dalam memilih pemimpin adalah memilih pemimpin oleh orang-orang yang mampu mencemati, memilih, mempelajari dan memahami tugas pemimpin. Sedangkan demokrasi adalah memilih pemimpin oleh semua orang yang mampu berfikir cerdas ataupun yang tidak mampu termasuk orang pikun dan lemah akalpun sama suaranya dengan profesor yang soleh. Barangkali andapun pernah melihat di sebuah pesta demokrasi seorang kakek tua, tuli, kabur penglihatan, sering pikun dan tidak kenal calon A dan calon B harus masuk TPS memilih seorang pemimpin. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah bersabda " Janganlah engkau berikan kepemimpinan kepada orang yang memintanya darimu". Begitu juga kisah Sayyidina Umar bin Khottob yang ingin mengangkat seorang gubernur, beliau minta kepada tokoh-tokoh yang ada untuk merekomendasikan orang-orang yang layak menjadi gubernur. Dan disaat ada orang yang mengajukan satu orang, sayyidina Umar bertanya “ Apa alasanmu memberi rekomendasi terhadap orang itu? Dijawab,” kami saksikan ia sangat rajin di masjid”. Kemudian sayyidina Umar bertanya “ apakah engkau pernah berjual beli dan pinjam meminjam denganya? ” Di jawab “belum ”. Kata sayyidina Umar,” rekomendasimu tidak di anggap, sebab pemimpin dan wakil rakyat harus sudah teruji kejujuranya kepada Allah dan kejujurannya kepada sesama, belum cukup untuk mengangkat seorang pemimpin yang hanya terlihat baik di masjid saja, begitu juga yang tidak kenal masjid tidaklah pantas menjadi pemimpin dan wakil rakyat”. Riwayat yang kita dengar dari Rasulullah dan Sayyida Umar bin Khottob adalah sebuah pendidikan bagi kita disaat memilih pemimpin dan wakil rakyat. Sekaligus untuk menjauhkan para calon pemimpin dan wakil rakyat dari faham AKU yang menjadikan seorang hamba di kutuk dan di murkai oleh Allah SWT. Saat inipun kita harus tanggap dan cerdas melihat disekitar kita, begitu banyaknya propaganda faham AKU memenuhi jalan-jalan. Kita sering dikejutkan oleh gambar orang yang tidak pernah kita kenal tampil di jalan-jalan dan mengatakan beragam ungkapan yang menunjukkan bahwa faham AKU nya iblis telah di anut oleh bangsa manusia. Kami tidak mengatakan bahwa mereka tidak layak dipilih akan tetapi kami hanya mencermati bahwa cara memilih calon pemimpin dan wakil rakyat yang benar, bukanlah dengan cara menyuburkan faham AKUnya iblis. Dan penganut faham AKU tidaklah pantas untuk dipilih. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari faham AKU nya sang iblis ini. PENGERTIAN KAFIR Menurut orang umum yang dikatakan orang kafir ialah orang yang tidak mempunyai iman. Ada yang berkata : “Tujuh turunan mereka (orang kafir) itu tidak mempunyai iman”. Perkataan yang demikian itu tidak bisa dipercaya, perkataan yang demikian adalah perkataan yang menyalahi Al Qur-an. Sebenarnya orang kafir itu bukan orang yang tidak mempunyai iman, sebab jendralnya kafir itu kan Iblis, itu saja masih percaya kepada Alloh dan percaya hari kiyamat. Dalam Al Qur-an diterangkan, Iblis meminta kepada Alloh : ROBBI FA ANDHIRNII ILAA YAUMI YUB’ATSUUN Artinya : (Berkata Iblis) Ya Tuhan, tangguhkanlah aku sampai hari kiyamat. Jadi Iblis saja “Yu`minuuna Billahi Walyaumil Akhir” : Percaya kepada Alloh dan percaya adanya hari kiyamat. Percaya kepada Alloh dan percaya kepada hari kiyamat itu selalu bergandengan. Seperti dalam Hadits : MAN KAANA YU`MINU BILLAAHI WALYAUMIL AAKHIRI FALYUKRIM JAAROHU (Alhadits). Demikian juga dalam Al Qur-an banyak, percaya kepada Alloh itu gandeng percaya kepada yaumil akhir, apa sebab ? Sebab dua itu adalah inti dari cabangnya iman. Iman mempunyai 79 cabang, dan 79 cabang ini diperas menjadi 6 cabang iman yakni : 1. Percaya kepada Alloh. 2. Percaya kepada kitabnya Alloh. 3. Percaya kepada malaikatnya Alloh. 4. Percaya kepada Rosulnya Alloh. 5. Percaya kepada hari kiyamat. 6. Percaya kepada takdir. Dan 6 cabang ini diperas lagi menjadi 2, yakni: “Yu`minuuna Billahi Walyaumil Akhir”. Adapun Iblis yang jendralnya kafir itu juga: “Yu`minuuna Billahi Walyaumil Akhir”. Jadi kalau begitu Iblis itu mukmin apa kafir ? Iblis itu disebut mukmin, tapi Tuhan menyebut Iblis itu kafir, dalam Al Qur-an : ABAA WASTAKBARO WAKAANA MINALKAAFIRIIN. Jadi Tuhan menyebut Iblis itu : “Wakaana Minal Kaafiriin”, tapi dalam ayat yang lain Iblis itu “Yu`minuuna Billahi Walyaumil Akhir”. Terus bagaimana ini… Seorang Mursyid Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan. Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran. Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan. Thariqah Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah. Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja. Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya. Wushul Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul. Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan. Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya. Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar. Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah. Mursyid Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah. Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah. Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya. Mursyid Dalam Tarekat Allah Swt. berfirman: “Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an). Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid. Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri. Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”. Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya. Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati. Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan. Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.” Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas. Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, — dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, — bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima: 1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas. 2. Memiliki pengetahuan yang benar. 3. Memiliki cita (himmah) yang luhur. 4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai. 5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut: 1. Bodoh terhadap ajaran agama. 2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam. 3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna. 4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan. 5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya. Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani: 1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan. 2. Mempermainkan thaat kepada Allah. 3. Tamak terhadap sesama makhuk. 4. Kontra terhadap Ahlullah 5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.” Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”. Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri: 1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin. 2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan. 3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi. 4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak. 5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka. Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana. Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah: 1) Himmah yang tinggi, 2) Menjaga kehormatan, 3) Bakti yang baik, 4) Melaksanakan prinsip utama; dan 5) Mengagungkan nikmat Allah Swt. Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt. Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah. Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”. *** Allah Swt. berfirman: “Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an). Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid. Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri. Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”. Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya. Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati. Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan. Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.” Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas. Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, — dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, — bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima: 1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas. 2. Memiliki pengetahuan yang benar. 3. Memiliki cita (himmah) yang luhur. 4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai. 5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut: 1. Bodoh terhadap ajaran agama. 2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam. 3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna. 4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan. 5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya. Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani: 1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan. 2. Mempermainkan thaat kepada Allah. 3. Tamak terhadap sesama makhuk. 4. Kontra terhadap Ahlullah 5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.” Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”. Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri: 1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin. 2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan. 3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi. 4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak. 5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka. Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana. Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah: 1) Himmah yang tinggi, 2) Menjaga kehormatan, 3) Bakti yang baik, 4) Melaksanakan prinsip utama; dan 5) Mengagungkan nikmat Allah Swt. Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt. Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah. Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”. HIDUP HAKEKAT MAKSUD AJAKAN ALLOH DAN ROSULULLOH Kemudian ajakan Alloh dan Rosululloh yang ada di Al Qur-an yakni orang beriman diperintah mendatangi atau menerima sesuatu yang sesuatu itu bisa menghidupkan orang mukmin, ini hidup yang bagaimana maksudnya? • Apakah hidup 'idhofiyyah ? • Apakah hidup shifatiyyah ? • Apakah yang dimaksud hidup tersebut hidup yang ditandai oleh perkembangan atau hidup yang ditandai oleh keluar masuknya nafas atau hidup sandaran ? Yang dimaksud hidup disini adalah bukan hidup ‘Idhofiyyah. Sebab kalau hidup ‘idhofiyyah, maka kucing itu saja sudah hidup ‘idhofiyyah, kerbau juga begitu yakni hidupnya ditandai oleh keluar masuknya nafas. Jadi kalau yang dimaksud hidup disitu adalah hidup hubungan antara jasmani dan ruhani maka ini tahsilul hasil. Sebab orang mukmin sebelum diperintah hidup tersebutpun sudah hidup, tidak ada bedanya dengan hidupnya orang dholimin, kafirin, musyrikin, fasiqin. Jadi yang dimaksud bukan hidup sandaran. Lalu kalau bukan hidup sandaran, apakah hidup shifatiyyah ? Jawabnya inipun bukan, itu mustahil, itu tahsilul hasil. Sebab semua ruh, apakah itu ruhnya orang mukmin atau ruhnya orang kafir, pokoknya semua ruh itu hidup dengan sifat. Kalau begitu yang dimaksud itu kita ini supaya menyambut ajakan Alloh dan Rosululloh itu supaya kita bisa hidup, lalu hidup yang bagaimana? Ini jawabannya yang jelas bukan hidup ‘idhofiyyah, bukan hidup shifatiyyah tapi hidup hakekat atau hidup haqiqiyyah. Makanya dalam Al Qur-an surat An-Naml diterangkan bahwa orang kafir itu disebut mati. Dalam ayat tersebut Kanjeng Nabi didawuhi oleh Alloh Ta’ala : INNAKA LAA TUSMI’ULMAUTA WALAA TUS-MI’USHSHUMMADDU’AA-A IDZAA WALLAU MUDBIRIIN (An-Naml / 80). Artinya : (Muhammad !) Kamu tidak bisa membuat mendengar orang yang mati dan orang yang tuli dan ketika orang mati itu berpaling dengan mungkur (tolah-toleh dengan membelakang). Saudara angan-angan, ada orang mati kok bisa membelakangi dan tolah-toleh. Jadi orang kafir itu masih mati, jangankan orang kafir, orang mukminpun masih disebut mati kalau selama belum hidup hakekat. Disebut mati bukan dari segi shifatiyyah, mati bukan segi ‘idhofiyyah tapi mati dari segi haqiqiyyah. Jadi selama kita ini belum minum Ma-ul Hayat atau air yang dimaksud dalam surat Al-Anfal : “Limaa Yuhyiikum”, maka kita masih mati. (Limaa) : Untuk sesuatu. (Yuhyiikum) : Untuk menghi-dupkan kamu semua. Kalimat “Limaa”, Maa-nya ditambah huruf hamzah maka menjadi “Maa-un” yang artinya air. Kalimat “Yuhyiikum” diambil kalimat hayatnya maka kalau digabung menjadi kalimat : (Maa-ul Hayat). Jadi kita ini hukumnya masih mati, selama kita ini belum minum Maa-ul Hayat. Jadi kalau dilihat dari segi hidup hakekat, maka mayit itu banyak sekali tidak bisa dihitung. • Ada mayit bertengkar. • Ada mayit berjualan. • Ada mayit berpidato. • Ada mayit mengaji. • Ada mayit berpolitik. • Ada mayit memerintah. • Ada mayit mendapat piala. Ini kalau dilihat dari segi hidup hakekat. Kalau kita belum bisa mencapai hidup haqiqiyyah, kita hanya hidup shifatiyyah saja, maka apa bedanya hidup kita dengan hidupnya orang kafir ? Kalau hidup kita hanya hidup 'idhofi, maka hewanpun hidup 'idhofi, kalau begitu apa bedanya kita dengan hayawan ? Kita sebagai orang mukmin, hidup kita haruslah berbeda dengan hidupnya orang kafir, haruslah berbeda dengan hayawan. Dan kalau kita belum hidup hakekat itu artinya kita belum menyambut ajakan Alloh dan ajakan Rosululloh. Lalu kalau begitu ajakan siapakah yang kita sambut ? Ya berarti ajakan iblislah yang kita sambut. Ajakannya siapakah, kalau bukan ajakannya Alloh dan Rosululloh yang kita sambut itu ? Dan kapan kita menyambutnya ? Kapan ? Kapan ? Apakah menunggu masuk alam barzakh ? Itu tidaklah mungkin ! Jadi secara mudahnya, kita itu diperintah supaya kita hidup hakekat, bukan sekedar hidup-hidupan saja, bukan hidup jasmaniyyah dan ruhaniyyah tapi hidup hakekat. Hidup hakekat itulah sebenar-benarnya hidup ‘Indalloh. Kalau hidupnya jasmani, maka hayawan sapi, kambing itu juga hidup. Kalau hidup ruhaniyyah, maka ruhaninya semua orang kafir itu juga hidup. *** HIDUP HAKEKAT ADALAH HIDUPNYA IMAN Dan kita sebagai orang mukmin maka hidupnya haruslah berbeda dengan orang kafir yang hidupnya hanya hidup sandaran dan hidup shifatiyyah dan kita harus hidup diatasnya yakni hidup hakekat. Dan hidup hakekat itu ialah “Hayaatul Iman” : hidupnya iman. Dan iman itu ialah merupakan benang halus, benang sutera, tali penghubung antara hamba dengan Alloh. Bukannya ibadah itu tali penghubung tapi imanlah tali penghubung antara kita dengan Alloh Ta’ala. Adapun ibadah ialah hanya merawat iman, ibadah itu untuk memperkuat tali penghubung. Jadi tali penghubung itu bisa mati dan bisa hidup. Pada tulisan selanjutnya akan kita mulai tentang Apakah MAUL HAYAT ITU ? tapi sementara akan kami muat tulisan dalam rangka menyambut tahun baru 1434 H… Semoga manfaat.. MENGHIDUPKAN HIDUP Mungkin para pembaca merasa penjelasannya koq di ulang-ulang. Kami berharap dengan cara demikian kita bisa benar-benar faham dengan keterangan yang akan kami sampaikan. Dalam surat Al Anfal, surat ke 8 ayat 24 tersebut di tulisan sebelumnya ada kalimat yang berbunyi : “YAA AYYUHALLADZIINA AAMANUU” (artinya : Wahai orang-orang yang beriman) * Ayat ini adalah ditujukan kepada orang-orang yang beriman (AAMANUU). Kemudian lanjutan ayat tersebut diatas ada kalimat yang berbunyi : “ISTAJIIBUU LILLAAHI WALIRROSUULI” ( artinya : Hendaklah kamu semua menyambut ajakan Alloh dan Rosululloh) * Ayat ini adalah berisi perintah, agar supaya orang-orang yang beriman (AAMANUU) itu menyambut ajakan Alloh dan Rosululloh. Kemudian lanjutan ayat tersebut diatas ada kalimat yang berbunyi : “IDZAA DA’AAKUM LIMAA YUHYIIKUM” (artinya : Ketika kamu diseru untuk sesuatu yang menghidupkan kamu). * Ayat ini adalah berisi tujuan perintah menyambut ajakan Alloh dan Rosululloh yaitu diseru untuk sesuatu yang menghidupkan kamu. Melihat dari kalimat demi kalimat dalam surat Al Anfal/s.8/ayat 24 tersebut di atas, lalu timbul beberapa pengertian. 1. SOAL : Mengapa orang-orang AAMANUU (beriman) itu masih diperintah menyambut ajakan Alloh dan Rosululloh?… JAWAB : Adanya orang-orang AAMANUU diperintah menyambut ajakan Alloh dan Rosululloh, karena AAMANUU (orang-orang yang beriman) itu adalah hidup, bukan mati. 2. SOAL : Tapi mengapa orang-orang AAMANUU yang hidup ini masih diperintah untuk menghidupkan dirinya, buktinya adalah ayat yang berbunyi LIMAA YUHYIIKUM (artinya untuk sesuatu yang menghidupkan kamu) ?… JAWAB: Kalau begitu berarti orang-orang yang beriman (AAMANUU) itu masih mati (belum hidup). 3. SOAL : Dan mengapa orang-orang AAMANUU itu dikatakan masih mati, padahal jelas beda dengan orang kafir ?.. JAWAB : Karena orang AAMANUU itu belum minum MA-UL HAYAT, apalagi orang kafir. 4. SOAL : Kalau memang orang-orang AAMANUU itu masih mati (belum hidup), lalu yang dimaksud ini hidup yang bagaimana?….. • Kalau yang dikatakan hidup itu perkembangan, itu adalah hidupnya tumbuh-tumbuhan, sedangkan kita bukan tumbuh-tumbuhan. • Kalau yang dikatakan hidup itu keluar masuknya nafas (pergantian zat), itu adalah sama dengan hidupnya hayawan dan ini tidak ada bedanya, hidupnya kucing juga keluar masuk nafas . Dan kalau hidupnya orang mu’min itu dikatakan keluar masuknya nafas, itu berarti sama dengan hayawan..? • Kalau yang dikatakan hidup itu hubungannya roh dengan jasmani, apa bedanya dengan hidupnya orang kafir..? Padahal dalam ayat ini orang AAMANUU itu masih mati kalau belum minum Ma’ul hayat, apalagi orang kafir. 5. SOAL : Apakah tidak ingin hidup langgeng ..? JAWAB : Ya ingin ! 6. SOAL : Kalau memang ingin, kenapa tidak mencari..? JAWAB : Ya mencari ! 7. SOAL : Kalau memang mencari, mengapa tidak tahu tempatnya?…. JAWAB : Sudah tahu ! 8. SOAL : Kalau memang sudah tahu tempatnya, mengapa tidak bisa mengambil?… JAWAB : Ini semuanya disebabkan karena belum minum MA- UL HAYAT. Jadi kesimpulannya adalah, kalau kita sebagai orang-orang yang beriman tidak mencari dan minum MA-UL HAYAT, maka kita masih mati (belum hidup). Kalau dalam tafsir, ayat 24/s.8/surat Al Anfal ini bermakna dhohir, yaitu dihubungkan dengan peperangan zaman kanjeng Nabi. Kalau memang ayat ini dihubungkan dengan peperangan zaman kanjeng Nabi, berarti ayat ini sekarang sudah tidak berlaku dan hanya berlaku pada zaman kanjeng Nabi saja, sebab sekarang sudah tidak ada peperangan seperti zaman kanjeng Nabi dan adanya hanya di Makkah saja. Kalau begitu, tidak di sini. Padahal Alqur’an itu untuk seluruh manusia. Akan kami perjelas keterang di tulisan berikutnya… ini masih seputar HIDUP, belum masuk tema utama. Tapi sabar saja, nanti buru-buru malah gak paham. Semoga manfaat ! PUSAKA KALIMASADA BENCANA & MUSIBAH yang melanda negri ini seyogyanya jangan dianggap sebagai ujian (terhadap orang2 yang beriman). Anggapan itu akan menjebak sikap kita pada kesombongan/takabur/arogan karena merasa diri kita sudah beriman. padahal seberapa besar kadar keimanan kita kiranya hanya Tuhan yang tahu persisnya. AKAN LEBIH BIJAKSANA jika kita menganggap bencana dan musibah sebagai TEGURAN/PERINGATAN/AZAB Tuhan kepada bangsa ini agar lebih mawas diri dan lebih pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Cara berpikir demikian lebih banyak manfaatnya sebab membuat kita makin tunduk dan menghormati Tuhan, dan dapat melakukan koreksi diri. TENTANG pusaka kalimasada; maksudnya adalahh kalimat syahadat (kesaksian) atau kesaksian setiap manusia bahwa Tuhan itu benar2 ada. jika manusia yang tidak takut kepada hukum Tuhan menjadi luntur kadar kesaksiannya (syahadat) dengan kata lain pusaka kalimasada telah musnah atau berkurang kesaktiannya sehingga manusia tidak sanggup mendirikan ‘candi’ kemuliaan hidup. Raja jin yang mencuri ‘pusaka’ kalimasada bukan Nyai Roro Kidul, itu hanya kiasan, maksudnya adalah raja syetan yang sll menganggu kebersihan jiwa manusia yakni HATI YANG PENUH DENGAN NAFSU ANGAKARA MURKA. maka ‘candi’ keluhuran budi, kemuliaan hidup manusia tidak akan berdiri sepanjang ‘pusaka kalimasada’ masih dalam genggaman si pencuri (nafsu angkara murka). Kanjeng Ratu Kidul bukan jin bukan siluman, tetapi punya entitas sendiri sebagai makhluk Tuhan yang tetap manembah kepada Gusti Allah. Ia diciptakan sebagai hukum keseimbangan dari yang gaib, sedangkan pemimpin (manusia) yang adil jujur bijak sebagai bandul seimbangan dari alam nyata. maka dari itu, pemimpin yang adil, jujur, bijak akan memahami hal itu dan hubungan dengan yang gaib sebagaimana halnya hablumminannas, saling menghormati,menghargai, saling bahu membahu menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Alam gaib dan alam nyata sama-sama tunduk kepada Tuhan YME, mereka bahu membahu menjaga alam, sebagai wujud dari rasa syukur kepada Tuhan. Hanya saja pikiran dangkal kita kadang terlalu suudhon (buruk sangka) dan tidak bijaksana kepada yang gaib padahal kita tidak pernah memiliki dan menyaksikan sendiri kebesaran Tuhan yang termanifestasikan di alam gaib. LUMPUR LAPINDO, gempa sehari 7 kali, air laut pasang, banjir, kebakaran, paceklik, wabah penyakit misterius, ‘geger boyo’ gunung merapi runtuh, perebutan kekuasaan, ajimumpung, jaman edan, orang baik tersingkir, orang durjana dipakai, artis berlomba jadi pejabat dst sudah tersurat dan tersirat dalam karya sastra pujangga pujangga jawa masa lampau. Anda dapat membacanya dalam Betal jemur Quraisyin Adammakna. INILAH JAMAN EDAN PADA TAHUN TAHUN KOLOBENDU. Kosep tentang pusaka juga sudah salah kaprah, pusaka dianggap benda musrik yang tidak perlu dipercayai. konsep demikian sungguh sesat, karena pusaka tidak lain benda sejarah yang DIWARISKAN oleh leluhur kita, seperti lemari antik, pecah belah, hiasan berharga dsb, bahkan sang saka merah putih juga merupakan pusaka dari para pejuang/pahlawan yang telah menjadi leluhur. Pusaka yang dikaitkan dengan kesaktian sesungguhnya hasil karya manusia zaman dulu leluhur, eyang, kakek nenek, buyut, eyang canggah kita sendiri. Kita tidak perlu terlalu merendahkan dan buruk sangka. Sebab pusaka yang mengandung kekuatan sakti merupakan bukti nyata kecanggihan ‘tehnologi’ moyang kita dahulu. Seharusnya kita bangga. Jika amerika menggunakan bedil yang dapat dilihat semua orang, maka kalah canggih dengan sejata tombak leluhur kita yang punya kekuatan dahsyat dapat mengusir musuh sebelum musuh mendekat, dapat menyingkirkan wabah misterius tanpa pusing2 pemerintah nyebar vaksin dengan anggaran yang sengaja di mark up. Keris, tombak, dan pusaka pusaka sejenis adalah sekedar hasil karya tehnologi kuno, mengapa dikaitkan dengan hal hal musyrik syirik. Leluhur kita dari jaman dulu sudah lebih dari tahu jika Tuhan itu ada, bahkan orang-orang jaman dulu termasuk nenek moyang leluhur kita, lebih tunduk dan takut kepada Tuhan tidak seperti manusia2 jaman sekarang yang sok suci, sok iman, tapi sesungguhnya jahiliah, hanya terjebak pada simbol2 syariat, dan lupa bahwasyariat itu baru tingkat dasar, karena diatasnya masih ada tingkatan tariqat, hakikat. Banyak orang2 hbat di dalam batas syariat tapi sudah berharap besar mendapatkan makrifat, padahal makrifat akan diperoleh siapapun manusia yang dapat meraih tataran hidup pada tingkatan makna sesungguhnya hakikat hidup didunia ini. Jadi, biarkan pusaka sebagai alat/ teknologi kuno masih digunakan manusia masa kini sepanjang alat tersebut masih relevan digunakan. Pusaka ada yang bisa untuk mengobati orang sakit, sebagaimana pil dari apotek yang diresepkan oleh dokter. Tetapi pusaka dianggap dekat dengan musrik sedangkan pil/obat2 dokter tidak musrik. Apa bedanya, apakah hanya karena pil mengandung preparat yang jelas bahan bahannya. Sedangkan pusaka dianggap tidak ada preparatnya, siapa bilang??!! BERSYUKUR KEPADA ORANG TUA Oleh: Si Pincang Category JATI DIRI 02 Muharram 1434H 17 November 2012 09:26 JALAN JATIDIRI MANUSIA Apakah jalan jatidiri manusia itu? Jati diri manusia ke dunia ini lewat mana? Jalan jatidiri itu jalan menuju ke surga bukan jalan menuju ke neraka. Kalau tidak mengetahui jalan jatidirinya sendiri apapun tingkatannya di dunia ini, walaupun ibadahnya di dunia ini sungguh-sungguh seperti puasa, wiridan, naik Hajji sampai 27 kali jangan mengharap-harap masuk surga. Persoalan jalan jatidiri manusia ini fondamental, jadi harus mengetahui jalannya. Lebih fondamental ini daripada wiridan. Wiridan sampai semalam suntuk tetapi tidak mengetahui jalannya, ini namanya dalam kebingungan. Kalau di dunia bingung nanti di akhiratpun juga kebingungan(wa adlollu sabiila). Yang di maksud HAADZIHI itu dekat (disini) adalah di dunia ini. Walaupun 1000 tahun di dunia namanya tetap disini. Walaupun 1 juta tahun kalau di dunia ya disini. Kalau sudah meninggalkan dunia namanya di sana. Di dalam Al Qur-an surat Hajji/46 di sebutkan; LAA TA’MAL ABSHOORO WALAKIN TA’MAL QULUUBUL LATII FIS SUDUR Tidak buta mata lahirnya tetapi buta mata hatinya yang ada di dalam dada. Yang di maksud buta ini bukan buta mata lahir tetapi buta mata hati. Manusia itu mempunyai 2 fikiran, fikiran di bawah sadar dan fikiran di muka sadar. Kalau di hati di bawah sadar ada 88 seperti lautan kalau di otak hanya sedikit seperti gunung es. Jadi yang di maksud buta itu buta mata hati tidak mengetahui jalan jati diri. Sejatinya diriku ke dunia ini lewat mana? Tidak mengetahui. Rosululloh SAW. Bersabda; QOOLA ROSUULULLOH SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALAM: MAN WULIDA LAHU WALADUN FA’ADZ-DZANA FII UDNIHIL YUMNA WA AQOOMA FII UDNIHIL USRO LAM TADURRU UMMUSH SHIBYAN Siapa yang mempunyai anak yang baru lahir di adzani telinga kanan dan di qomati telinga kiri tidak membahayakan kepada anak itu ummu sibyan (tidak bisa di tipu ummu sibyan). Ummus Sibyan itu jin dan jin itu ada 2 macam, Jin halus dan jin kasar yang berbentuk manusia. (MINAL JINNATI WAN NAS). Syaithon itu ada 2 macam, syaithon halus dan syaithon kasar yang berbentuk manusia. Makanannya, pakaiannya dan juga bergaul dengan manusia tetapi tidak mengetahui kalau itu syaithon. Termasuk pintar mengaji dan wiridan, ada syaithon gundul dan ada syaithon gondrong. Jadi pakaiannya manusia tetapi dalamnya syaithon. Yang paling mudah di usir itu syaithon bentuk jin cukup di bacakan ‘A’UUDZU BILLAAHI MINASY SYAITHOONIR ROJIIM, atau di bacakan Ayat Kursi langsung lari. Tetapi syaithon bentuk manusia apabila di bacakan Ayat Kursi juga ikut membaca Ayat Kursi. Qur-an dan hadits di pakai untuk tutup atau topeng tetapi dalamnya syaithon. Jadi harus hati-hati. Tetapi kalau mengetahui jati dirinya insyaalloh selamat. LAM TADURRUHU UMMUS SIBYAN. Apa sebabnya telinga kanan di adzani dan telinga kiri di qomati? Adanya di adzani dan di qomati agar tidak tuli. Di dalam Adzan dan qomat itu kalimat terakhir bunyinya LAA ILAAHA ILLALLOH, Hadits menerangkan; MAN KAANA AAKHIRU KALAAMIHI LAA ILAAHA ILLALLOH DAKHOLAL JANNAH “Barang siapa yang akhir ucapannya itu Laa Ilaaha illalloh masuk surga”. Itu jalan menuju surga. Siapa yang melahirkan bayi itu? Seorang ibu, di dalam hadits di terangkan; AL JANNATU TAHTA AQDAMIL UMMAHAT Surga itu di bawah telapak kaki ibu. Jadi jalannya jatidiri kita itu ya di situ. Begitu pula di dalam Al Qur-an di sebutkan; WALLOHU AKHROJAKUM MIN BUTHUUNI UMMAHAATIKUM LAA TA’LAMUUNA SYAI-AA WAJA’ALA LAKUMUS SAM’A WAL ABSHOORO WAL AF-IDAH LA’ALLAKUM TASYKURUUN Dan Alloh mengeluarkan kamu semua dari perut ibumu kamu tidak mengetahui apa-apa. Dan Alloh menjadikan pendengaran dan penglihatan dan hati. Supaya kamu bersyukur. Syukur kepada siapa? Alloh Ta’ala menerangkan di dalam surat Al Isro’ WASYKURUULII WALIWALIDAIKA Bersyukurlah kepadaku dan kepada orang tuamu. Bersyukurlah kepadaku dan kepada orang tuamu, terutama kepada ibumu. Karena kamu datang ke dunia ini aku yang mengeluarkan, Aku yang menciptakan kamu dan ibumu yang menjadi jalannya. Jadi bayi yang baru lahir di Adzani dan di Qomati itu mengingatkan jalan jatidiri manusia ke dunia ini melalui tauhid, kekuasaan Alloh dan melalui orang tua sekalian. Semuanya melalui jalan itu apakah itu raja, ulama, presiden. Al Qur-an meyebutkan: USYKURLII WALIWALIDAYYA ILAIYAL MASHIIR Syukurlah kapadaku dan kepada orang tuamu, kepadaku kamu jalan akan kembali. Kalau lupa dengan jalan ini maka tidak bisa INNA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UUN. Oleh sebab itu setiap selesai sholat berdoa kepada Alloh ROBBIGHFIRLII WALIWALIDAYYA WARHAMHUMA KAMAA ROBBAYAANI SHOGHIIRO Wahai Tuhan ampunilah aku dan orang tuaku dan kasihanilah orang tuaku sebagaimana orang tuaku mengasihi aku di waktu kecil Kalau hari kamis dan apabila kedua atau salah satu orang tuanya sudah meninggal sholatlah Birrul Walidain. Sholat Birrul Walidain waktunya setelah Maghrib dan sebelum Isya’ (tengah-tengah), 2 rekaat. Sholat di tujukan kepada orang tua. Bacaannya tiap-tiap 1 rekaat, 1. Ayat Kursi 5 x 2. Qul a’udzu birbbil falaq 5 x 3. Qul a’udzu birobbinnas 5x Setelah salam membaca Sholawat Nabi 15 x Istighfar 15 x Keutamaan bacaan di haturkan kepada dua orang tua. Mengapa yang di baca Ayat Kursi, surat Falaq, surat An Nas dan waktunya pun setelah waktu Maghrib dan sebelum Isya’, semuanya itu adalah rahasia. Setiap manusia pasti mempunya FAJRUL MAULUD, artinya fajar kelahiran..yang disebut juga dengan HIJRAH. Insya Alloh di tulisan berikutnya akan kami tulis tentang FAJRUL MAULUD. FAJRUL MAULUD Oleh: Si Pincang Category JATI DIRI 03 Muharram 1434H 19 November 2012 05:30 HIJRAH Agama Islam mempunyai fajar namanya Fajrul Islam. Hari mempunyai fajar namanya Fajrul Yaum. Tiap-tiap manusia mempunyai fajar namanya Fajrul Maulud (Fajar Kelahiran). Fajar Islam adalah Hijrah. Hijrah dari Mekah ke Madinah. Ketika Islam masih di Mekah belum menjadi fajar, belum menyingsing masih gelap. Setelah pindah ke Madinah fajar menjadi terang dan Islam tersebar ke seluruh dunia. Begitu pula malam ini gelap gulita, semuanya gelap baru tersingkap melalui fajar. Jadi fajar itu sinar matahari akan menyingkap kegelapan. Begitu pula waktu kita di dalam kandungan (dalam surat Az Zumar) di terangkan di liputi gelap 3 lapis. Kemudian fajar, fajar kita itu lahir kita. • Hijrah dari alam Rahim menuju ke alam dunia. • Hijrah dari alam sempit menuju ke alam luas. • Hijrah dari alam gelap menuju ke alam luas. • Hijrah dari alam kesepian menuju ke alam ramai. • Hijrah dari alam kandungan menuju ke alam sanjungan, perjuangan. Pada waktu hijrah itu ibu kita mengalami jihad (berjuang sungguh-sungguh) akan mengeluarkan kita. Makanya kalau sampai ibu kita wafat hukumnya mati sahid karena perang. Air tumpah, darah semburat, perasaan gaduh, kekuatan menekan, lisan merintih-rintih, hati cemas, suaminya cemas, mohon kepada Alloh. Menentukan mati atau hidup waktu ibu melahirkan kita. Apalagi waktu sedang mengandung, di dalam AL Qur-an di sebutkan mengalami susah di atas kesusahan. Makan, duduk, tidur hati-hati. Ibu kita sungguh-sungguh jihad fi sabilillah pada waktu melahirkan kita. Itu adalah jalan jatidiri kita datang ke dunia ini. Setelah berjuang dengan sungguh-sungguh kemudian lahir. Setelah lahir ibu mendengar tangis anaknya, hatinya menjadi bahagia. Sebaliknya apabila tidak menangis ibu menjadi susah karena anaknya mati. Seandainya hati ibu kita waktu itu tidak ketetesan Rohman Rohim dari Alloh maka tidak ada manusia yang hidup. Ini yang menyebabkan saya sakit. Belum lagi setelah lahir seorang ibu harus menyiapkan segalanya. Anaknya ingin makan di suapi, ingin mandi di mandikan. Sejak mulai lahir sudah di ajarkan tolong menolong. Waktu lahir di tolong oleh bidan, bidan di tolong sie bayi. Kalau tidak ada bayi tidak ada bidan. Jadi harus sadar bahwa sie bidan di tolong sie bayi. Yang sakit di tolong dokter, dokter di tolong oleh yang sakit. Jadi tolong menolong. Ketika di dalam kandungan namanya berada di Alam Rahim. Orang dahulu dan orang yang akan datang di sambung Alam Rahim. Andaikan dunia ini isinya manusia laki-laki semua maka manusia sudah punah. Begitu pula sebaliknya apabila hanya perempuan semua maka manusia di dunia ini juga sudah punah. Ada laki-laki dan juga ada perempuan tetapi tidak sambung maka manusia juga punah. Adanya manusia berkembang karena ada sambungan, di sambung di alam Rahim. Sambung itu disebut = Shillah, tempatnya di namakan Rahim. Setelah lahir di perintah Shillaturrahim. Itu adalah jalan jati diri. Setelah lahir bersamaan dengan orang banyak di istilahkan lahir bareng sedino. Menurut orang ujub, ngaweruhi kang lahir bareng sedino. Kalau ingat bahwa seluruh manusia di dunia ini saudara yang lahir bersamaan maka akan manjadikan damai, tidak saling bertengkar. Hidup sendirian di dunia tidak berani. Makanya shillaturrahim itu kemanusiaan yang adil dan beradab (Sila ke dua dalam Pancasila). Di dalam lambang Negara RI di lambangkan rantai. Dan bentuknya rantai itu bulat dan persegi. Bulat itu melambangkan perempuan dan persegi melambangkan laki-laki. Bulat itu kalau di dalam bahasa arab di sebut (mu-annas) haadzihi disebut (isim Isyarah) di tujukan kepada perempuan. Dalam kalimat haadzihi huruf paling belakang adalah ha’ bulat, kalau laki-laki haadzaa. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, (Alloh) ini masalah keimanan. Dan Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Supaya di perhatikan surat taerakhir dalam AL Qur-an; Robbi (Tuhan), Maliki (nama Tuhan), Ilahi (nama Tuhan) ini masalah keimanan. Tetapi di belakangnya Nas (manusia), Nas (manusia), Nas (manusia). Robbinas, Malikinnas, Ilahinnas. Seperti itu hebatnya Pancasila kok ada ideology lain yang akan mengganti. Jadi jalan jati diri kita itu lewat syukur, syukur kepada Alloh dan syukur kepada ibu kita. AL JANNATU TAHTA AQDAAMIL UMMAHAT. Dalam Hadits nabi di sebutkan: Semua kesalahan siksanya saya tangguhkan nanti di akhirat kecuali satu yang langsung di dunia yaitu berani terhadap ibu. Di dunia ini sudah tidak tahu jalan jatidirinya, sampai ada yang di beritakan di surat kabar kalau ada anak yang membunuh orang tuanya di sebabkan minta uang tidak di beri. Ada kisah seorang yang sahabat nabi yang sangat tekun beribadah, tapi sayangnya baktinya kepada orang tua dikalahkan oleh cintanya pada istrinya. Ikuti kisanya di tulisan selanjutnya… SURGA DAN NERAKA Pada Postingan terdahulu yang berjudul HIKMAH REINKARANASI , mestinya ada kelanjutan bahasan. Dikarenakan kesibukan kami maka lanjutannya baru bisa kami sampaikan Sekarang. Alangkah baiknya Saudara membaca kembali postingan terdahulu . Jika reinkarnasi itu adalah siklus hidup-mati yang terus berulang, apakah akan ada akhirnya? lalu kemana surga dan neraka yang dijanjikan Tuhan ? Nah jangan salah mengira bahwa reinkarnasi itu tidak ada ujungnya. Reinkarnasi tentu ada akhirnya! Siklus hidup-mati (roda samsara) akan berakhir manakala manusia menyempurnakan dirinya sehingga dapat kembali kepada-Nya. Innaalillahi wa innaa ilaihi raajiuun (sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah). Kalimat ini sering diucapkan oleh banyak umat Islam tapi jarang yang menyadari bahwa kalimat itulah yang harus menjadi tujuan akhir dari seluruh perjalanan hidup manusia yakni kembali kepada-Nya. Kata “kembali” pada ayat diatas tentu maksudnya adalah benar-benar kembali kepada Tuhan, bukan masuk ke surga apalagi neraka. Loh… bukankah tiap orang yang mati itu bermakna sudah kembali kepada-Nya? Ya tentu saja tidak. Wong masuk neraka ya jelas belum kembali pada Tuhan, apalagi yang matinya bunuh diri. Tuhan itu Maha Suci jadi hanya orang suci yang bisa kembali kepada-Nya. Surga pun hanya imbalan dari Tuhan agar manusia makin menyempurnakan dirinya. Dalam Q.S 32:9, 21:91, 15:29 telah dinyatakan bahwa ruh-Nya ditiupkan ke diri manusia agar ciptaan-Nya (manusia) makin sempurna. Manusia menjadi hidup karena adanya ruh dari Sang Maha Hidup. Dan karena ruh itu adalah ruh-Nya maka pastilah akan kembali kepada-Nya cepat atau lambat. Adapun surga dan neraka sebenarnya hanyalah alam-alam ciptaan Tuhan dimana tiap-tiap manusia akan melewatinya. Ibarat tangga yang akan menuju kepada-Nya, surga dan neraka adalah titian tangga yang memang harus dilewati tiap manusia. Oleh karena ada manusia yang mendapat surga, neraka dan yang telah kembali kepada-Nya maka Al Quran pun membagi manusia menjadi tiga golongan. Mari simak ayat berikut : Dan kamu menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan itu dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan itu. Dan orangorang yang beriman, merekalah yang paling depan. (Q.S Al Waaqi’ah (56) :7-10) Golongan kanan pada ayat diatas adalah yang akan mendapat surga. Golongan kiri adalah mereka yang mendapat neraka. Sedangkan orang-orang yang beriman inilah orang yang terdepan, terunggul sehingga ia mampu kembali kepada-Nya dengan jiwa yang tentram sebagaimana disampaikan pada ayat berikut ini : Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (rela) dan diridhoi-Nya. (Q.S Al Fajr (89) : 27-28) Manusia yang telah kembali kepada-Nya, dalam istilah jawa disebut juga moksa. Begitu meninggal langsung manunggal dengan Tuhannya tanpa melalui neraka, tanpa melalui surga. Semua alam ciptaan-Nya telah di bypass. Manusia yang memiliki kualitas sebagaimana Nabi, Rasul dan para wali-Nya adalah mereka yang mampu kembali kepada Tuhannya secara sempurna. Di ayat berikut akan nampak jelas bahwa Nabi, Rasul dan para wali-Nya tidak berada disurga melainkan ditempat yang tertinggi dan senantiasa menyaksikan kehidupan manusia yang masih di ada di surga dan neraka : Dan diantara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan diatas tempat tertinggi (a’raaf) itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. (Q.S Al A’raaf (7):46) Bagi para Nabi, Rasul atau para wali, surga bukanlah tujuan utama mereka. Salah seorang sufi ternama wanita abad ke IX M, Rabiah Adawiah justru mengusung slogan “Membakar surga, menyiram neraka”. Simak pusinya berikut ini : Bila aku beribadah kepada Engkau, Ya Allah, karena mengharap surgaMu, maka jauhkanlah surga itu dariku. Bila aku beribadah kepada Engkau, Ya Allah, karena takut api nerakaMu maka biarlah aku masuk api nerakaMu, Asalkan Engkau tidak meninggalkan aku”. Rabiah berpuisi seperti itu karena ia sangat tahu bahwa surga dan neraka bukanlah terminal akhir perjalanannya. Kerinduan untuk kembali kepada-Nya adalah segalanya karena kebahagiaan yang kekal akan menjadi miliknya. Inilah terminal akhir yang sesungguhnya. Surga dan neraka tidaklah kekal karena kekekalan atau keabadian cuma Allah semata. Surga dan neraka adalah ciptaan Allah. Tiap ciptaan pasti pasangannya kematian. Manusia diciptakan maka manusia dimatikan juga. Ada awal pasti ada akhir. Cuma Allah lah yang tiada berawal dan berakhir sehingga Allah tidaklah sama dengan ciptaan-Nya sendiri. Kalau di Quran disebut surga dan neraka adalah alam yang kekal maka hendaknya jangan ditafsirkan secara harfiah. Hidup seribu tahun di neraka menurut ukuran manusia bisa jadi bagaikan tinggal di neraka selama-lamanya. Jadi kata “kekal” bermakna relatif yakni suatu ukuran waktu yang dirasakan sangat lama oleh manusia. Manusia yang belum mampu kembali kepada Allah, akan tetap terus mengalami siklus hidup mati, sampai akhirnya sempurna dan mampu manunggal (menyatu) dengan Tuhannya. Manunggal dengan Tuhan tentunya tidak mudah. Tidak mudahnya dimana? Namanya manunggal dengan Tuhan berarti kita terlebih dahulu harus mengenal Allah (makrifatullah). Seseorang harus mampu mengenal Allah melalui Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Dalam proses mengenal Allah tentunya kita juga harus berusaha mengendalikan hawa nafsu dan memiliki ahlak yang baik. Nabi SAW bersabda : “Berbudi pekertilah kamu sebagaimana budi pekerti Tuhan”. Coba pikir… umur manusia rata-rata hanya sekitar 65 tahun, bagaimana mungkin memiliki budi pekerti sebagaimana budi pekerti Tuhan hanya dengan “modal” umur puluhan tahun. Tentu saja sulit dan untuk itu manusia memerlukan perjuangan dan perjalanan yang panjang untuk mencapai kualitas budi pekerti Tuhan. Loh koq Nabi SAW bisa? ya tentu saja, karena Nabi SAW usia ruhnya sudah sangat tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan melalui proses mati-hidup yang berulang. Jangan melihat usia fisik nabi yang hanya mencapai 63 tahun. Tapi sadari bahwa usia ruh beliau sangat tua. Makannya di Quran disebut bahwa Nabi SAW adalah suri teladan yang baik. Suri teladan ya berarti bisa di contoh, dan tiap manusia pasti cepat atau lambat akan mampu mencapai kualitas Nabi SAW atau para nabi yang lainnya. Janganlah kita pesimis apalagi berpendapat bahwa manusia tidak ada yang bisa menyamai para Nabi dan Rasul. Semua manusia diberi kesempatan yang sama oleh Allah untuk mencapai kesempurnaan diri (insan kamil). Kita harus bisa mencontoh senior kita, baginda Nabi SAW, meski untuk mencapai kualitas nabi harus melalui siklus hidup dan mati ratusan ribu atau mungkin jutaan kali. Semakin banyak menebar kebajikan di bumi ini maka semakin cepat ruhani akan mencapai kesempurnaan untuk kembali kepada-Nya. Nah, untuk kembali kepada-Nya sebenarnya sangat logis dan masuk akal jika manusia memerlukan waktu yang sangat panjang. Di Al Quran telah disebutkan: Malaikat-malaikat dan Jibril menghadap Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Q.S Al Ma’aarij (70) :4) Berdasarkan ayat diatas, perjalanan satu hari malaikat untuk menghadap Tuhan adalah sama dengan 50.000 tahun. Asumsi kecepatan malaikat adalah kecepatan cahaya yakni 300.000 km/detik. Pada saat ayat tersebut diturunkan, manusia kira-kira baru bisa menempuh perjalanan 100 km dalam sehari. Ini artinya perjalanan sedetik malaikat sama dengan perjalanan manusia 3.000 hari atau sekitar 8 tahun. Jadi untuk perjalanan menghadap Tuhan dalam satu hari malaikat perlu waktu lebih dari 200 miliar tahun bagi manusia. luar biasa !! Hitung-hitungan sederhana diatas membuktikan bahwa satu kali perjalanan hidup manusia sama sekali tidak ada apa-apanya. Bagaikan sebutir pasir di padang gurun yang luas. Terlalu pendek dan tidak masuk akal bagi manusia untuk kembali kepada- Nya hanya dengan modal umur puluhan tahun saja. Seorang filsuf jenius Perancis,Voltaire malah mengatakan : “kelahiran dua kali tidak lebih mengherankan daripada kelahiran sekali”. Bagi yang sudah mampu kembali kepada-Nya seperti para Nabi, Rasul dan para wali, jelas mereka tidak tinggal di surga melainkan telah berada ditempat tertinggi, manunggal dengan Tuhannya sehingga kenikmatan bersama-Nya bersifat kekal dan abadi. Inilah yang disebut “surga” yang tertinggi. Kebahagiaan yang dirasakan adalah kebahagiaan absolut yang berada diluar jangkauan angan-angan. Kebahagian yang lahir dalam “Diri” sendiri, bukan kebahagiaan yang datang dari luar dirinya. Inilah kebahagiaan kekal yang tidak bisa digambarkan oleh pikiran kita. Tentu hanya mereka sendiri yang bisa merasakannya. Tak seorang pun mengetahui kebahagiaan yang disembunyikan bagi mereka, sebagai imbalan terhadap kebajikan yang mereka lakukan.(Q.S As Sajdah (32) : 17) Surga yang masih merupakan alam ciptaan Tuhan, sesungguhnya adalah target jangka pendek bagi manusia. Dikarenakan manunggal dengan Tuhan memang tidak mudah, paling tidak manusia diharapkan minimal mendapat surga dengan perbuatan yang baik selama hidupnya sekarang. Itulah sebabnya iming-iming surga banyak disebut di Quran dan Hadist. Dengan melalui tangga-tangga surga, maka kita akan lebih cepat sampai kepada-Nya ketimbang mereka yang kualitasnya masih level neraka. Nah, dimanakah sebenarnya letak surga dan neraka itu? Banyak yang tidak menyadari bahwa bumi tempat kita tinggal inilah salah satu surga sekaligus neraka ciptaan-Nya. Tentu bumi ini bukanlah satu-satunya ciptaan Allah, melainkan banyak bumi (planet) lain yang juga diciptakan Allah. Jadi surga dan neraka itu adanya dibumi yang diciptakan Allah dengan kualitas yang berbeda-beda (bertingkat). Di Al Quran telah dijelaskan bahwa surga ternyata memiliki berbagai tingkatan : Tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat yang tinggi, diatasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. (Q.S Al Zumar (39) : 20) Surga atau planet sebagaimana yang dijelaskan pada ayat tersebut ternyata memiliki jarak yang lebih jauh dan juga kualitas alam yang lebih baik daripada bumi yang kita tempati sekarang ini. Semakin tinggi kualitas surga tentu akan semakin nyaman manusia tinggal didalamnya. Kualitas air yang jauh lebih sehat dan nikmat untuk diminum, kualitas buah-buahan yang ranum dan lebih cepat berbuah kembali seakanakan tidak pernah habis, kualitas fisik manusia yang lebih rupawan dan lain sebagainya. Dengan banyaknya tingkatan surga inilah maka di Al Quran disebut bahwa surga itu seluas langit dan bumi. Tentu surga sebagaimana ayat diatas bisa kita dapatkan asal kita banyak menebar kebajikan. Semakin banyak kita berbuat kebajikan maka semakin tinggi pula kualitas surga yang bisa didapatkan. Namun sebaliknya, semakin buruk perbuatan kita maka yang di dapat pun akan buruk pula yakni bumi yang dipenuhi oleh kesengsaraan hidup. Bumilah tempat manusia menerima buah dari segala yang dikerjakannya, sebagaimana firman Allah di Al Quran : Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan. (Q.S Al Jaatsiyah (45) : 22) Jadi, bagi kita yang merasakan kedamaian hidup di bumi yang sekarang kita pijak ini berarti kita mendapat surga. Bisa jadi dengan mendapat materi yang cukup, keluarga yang sakinah, kematangan spiritual dan berbagai kebahagian hidup lainnya. Sebaliknya bagi kita yang merasa di dunia mengalami kesengsaran hidup yang seakan tiada putusnya maka berarti kita mendapat neraka. Jadi, surga itu sebenarnya bermakna kebahagiaan batiniah dan neraka bermakna kepedihan batiniah. Jadi yang ingin dituju dari pengertian surga dan neraka sebenarnya bukanlah fisik buminya melainkan batin manusia yang menempatinya. Nah, oleh karena batin itu bukan benda maka dalam Al Quran, surga atau neraka dijelaskan secara metafor (perumpamaan) dan perumpamaan surga dalam Quran pun di sesuaikan dengan iklim alam bangsa Arab pada saat itu yang panas dan gersang. Dengan menggambarkan surga seperti taman yang indah maka diharapkan mereka terpikat dengan surga sebab surga seperti itu memang kontras sekali dengan iklim mereka yang panas dan gersang. Tidaklah heran jika ada orang Arab yang pergi ke puncak Ciawi, Jawa Barat akan terpana seakan-akan melihat surga yang disebut-sebut oleh Al Quran. Permisalan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah suatu lingkungan yang didalamnya mengalir sungai-sungai. Segalanya serba berkekekalan. Begitu pula naungannya. Itulah tujuan bagi orang-orang yang bertaqwa. Adapun akhir bagi mereka yang kafir adalah api. (Q.S Ar Ra’d (13) : 35) Nah, jika orang bertakwa mendapat surga maka sebaliknya mereka yang kafir balasannya adalah api. Tapi bukan api yang sesungguhnya. Ini adalah permisalan. Kalau neraka itu benar-benar api yang membakar maka tentunya manusia tidak akan sempat bertengkar di dalam neraka sebagaimana yang diceritakan pada ayat berikut : Dan mereka sedang bertengkar di dalam neraka. Demi Allah : “sungguh kita dahulu dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”. (Q.S As Syu’araa (26) : 96-98) Sesungguhnya itu pasti terjadi, yaitu pertengkaran penghuni neraka. (Q.S Shaad (38) : 64) Jelaslah bahwa neraka adalah ancaman nyata sekarang ini. Jika manusia melakukan perbuatan kafir (melakukan perbuatan keji dan mungkar) di muka bumi ini sudah tentu neraka pun akan tercipta dengan sendirinya. Makannya itu di Al Quran kita banyak sekali mendapati ayat yang memerintahkan manusia agar tidak berbuat kerusakan dibumi. Ini mengandung arti bahwa kehidupan kita dibumi yang sekarang masih akan berhubungan dengan kehidupan yang akan datang. Bumi adalah salah satu surga sekaligus neraka-Nya. Lah kalau kita sekarang berbuat kerusakan dibumi lalu bagaimana surga bisa terwujud kelak? Bumi rusak ya berarti surga juga rusak. Tidak ada lagi kebahagaian (surga). Yang muncul malah kesengsaraan (neraka). Dari penjelasan-penjelasan diatas kita bisa memahami bahwa keadaan surga dan neraka hanyalah permisalan. Surga dan neraka intinya adalah tentang kebahagiaan dan penderitaan batin. Surga dan neraka bukan alam yang terpisah. Surga dan neraka adalah suatu perumpamaan (simbol) yang menjelaskan keadaan jiwa atau batin yang dialami manusia. Al Quran banyak menggunakan simbol agar ia bisa dipahami untuk segala tingkat intelektualitas. Kebanyakan dari kita hanya mampu menafsirkan Quran secara harfiah (teks belaka), hanya sedikit yang mempunyai kemampuan menafsirkan Al Quran secara mendalam. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.(Q.S Al-Ankaabut (29) : 43) Untuk lebih memahami bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang terpisah, coba kita simak ayat yang berikut ini: Dan bersegaralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selangit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Q.S Ali Imran (3) : 133) Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapat) ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi…. (Q.S Al Hadid (57) : 21) Sahabat nabi pernah menanyakan makna ayat diatas : “Dimana neraka ya Rasulullah bila surga itu luasnya sama dengan luas seluruh langit dan bumi?” Lalu Rasulullah menjawab dengan bijak : “Dimanakah malam bila siang telah datang?”. Kata Rasul tersebut jelas sekali menerangkan bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang tepisah. KIAMAT Beberapa tahun terakhir orang dihebohkan dengan berita kiamat tahun 2012. Bahkan filmya lumayan bagus, meskipun penulis baru melihat dari film donwload-an dari Internet. Setelah kiamat orang berfikir tentang surga dan neraka dan seterusnya. Sudah bisa dipastikan yang paling heboh dengan berita kiamat, atau tepatnya film 2012 tentunya orang Islam. kenapa? Ikuti bahasan berikut. Ini bahasan lanjutan tentang Reinkarnasi. Jika saudara sudah membaca tentang Reinkarnasi dalam Al Qur'an dan Hikmah Reinkarnasi, silakan lanjutkan baca ini. Mungkin ada yang masih bertanya : jika surga dan neraka itu adalah kehidupan yang sekarang dan akan datang lalu apa yang dimaksud kiamat ? bukankah sebelum masuk surga dan neraka kita akan mengalami kiamat ? Kiamat berasal dari bahasa Arab qiyam yang artinya adalah bangkit. Kebanyakan orang awam mengartikan kiamat sebagai hancurnya alam semesta. Kemudian manusia dibangkitkan untuk dihisab untuk kemudian ditentukan masuk surga atau neraka. Selama menunggu kiamat maka manusia di alam kuburnya menunggu. Ada yang mendapat siksa kubur ada yang mendapat nikmat kubur. Pengertian awam diatas jelas tidak memiliki prinsip keadilan Tuhan. Manusia yang mati 7000 tahun lalu -jika amalnya buruk- tentu akan mengalami siksa kubur terlebih dahulu sambil “menunggu” kiamat tiba. Nah bandingkan dengan mereka yang mati pada saat kiamat tiba, tentu mereka tidak mengalami siksa kubur terlebih dahulu melainkan langsung bangkit dan dihisab. Padahal Allah jelas tidak pilih kasih atau menzalimi hamba-Nya. Hancurnya alam semesta adalah keniscayaan (kepastian). Yang namanya ciptaan Tuhan ya pasti ada awal dan akhir. Ada hidup dan ada mati. Tidak ada yang kekal melainkan cuma Allah yang kekal. Kehancuran alam semesta pun bukanlah akhir dari segalanya. Tuhan adalah pencipta sejati. Hobi-Nya adalah mencipta. Meski alam hancur lebur sekalipun, Ia dengan mudah menciptakan alam yang baru kembali. Jadi pengertian kiamat yang bermakna kehancuran alam semesta bukanlah pengertian yang sesungguhnya karena hal itu sudah pasti akan terjadi, namun pengertian kiamat yang tersembunyi inilah yang maknanya harus kita gali. Tujuan yang ingin dikehendaki dari mempercayai hari kiamat bukanlah agar manusia takut akan dahsyatnya kehancuran alam semesta, bukan itu! melainkan agar manusia bertanggung jawab!. Ya!, Manusia harus bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang dilakukannya agar keadilan bisa ditegakkan. Hukum Allah berlaku kepada semua manusia tanpa terkecuali dan penegakan hukum ini dijalankan melalui mekanisme kiamat. Bagi mereka yang telah mempelajari tasawuf dan telah mencapai pemahaman reinkarnasi, kiamat bukanlah dipahami secara awam yang bermakna hancur leburnya alam semesta, melainkan kiamat itu bermakna kebangkitan (kelahiran) kembali manusia ke bumi. Reinkarnasi ya kiamat. Kiamat ya reinkarnasi. Kiamat dan reinkarnasi memiliki makna yang sama yakni kebangkitan/kelahiran kembali. Bagi mereka yang masih tertarik oleh gravitasi kenikmatan dunia berarti belum memiliki kesadaran spiritual untuk kembali kepada-Nya. Wal hasil selama itu pula mereka akan terus menerus mengalami proses daur ulang atau hidup-mati di bumi dengan maksud agar mereka memperbaiki diri dan menyempurnakan amal perbuatannya. Hal senada telah juga terdapat dalam ayat berikut ini : Allah berfirman : Di bumi kamu hidup, di bumi kamu mati dan di bumi (pula) kamu akan dibangkitkan. (Q.S Al A’Raaf (7) : 25) Mengenai ayat kiamat di Al Quran memang banyak disebut kedahsyatannya, namun itu semua adalah metafor. Perumpamaan! Simak ayatnya berikut ini : Apabila bumi digoncangkan dengan dahsyatnya dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya. (Q.S Al Zalzalah (99) : 1-2) Apabila matahari digulung dan bintang-bintang berjatuhan dan apabila gununggunung dihancurkan. (Q.S At Takwiir (81) : 1-3) Ayat diatas menjelaskan proses kebangkitan ruh manusia yang ditandai dengan kelahiran jabang bayi melalui seorang wanita (ibu). Proses kelahiran seorang anak manusia memerlukan perjuangan yang luar biasa dari seorang wanita. Bumi yang terguncang dahsyat menandakan perjuangan wanita yang berusaha mengeluarkan “beban-beban berat yang dikandungnya” alias bayi. Matahari melambangkan mata wanita yang terpejam-pejam menahan sakit sehingga “bintang-bintang” (keringat) bercucuran jatuh. Gunung-gunung yang hancur memaknai perut dan payudara wanita yang berguncang-guncang. Kedahsyatan proses kelahiran ini pun diakhiri dengan jeritan tangis bayi yang telah keluar dari rahim ibunya. Mengapa ayat-ayat kiamat ini diturunkan dengan suatu permisalan? tujuannya adalah untuk memberikan peringatan dan ancaman pada sebagian orang Arab yang pada saat itu yang tidak mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Dengan mengetahui bahwa kiamat bisa terjadi kapan saja maka mereka diharapkan dapat menjaga moral, tidak terjebak pada pemuasan hawa nafsu sesaat dan senantiasa melakukan kebajikan. Koq bisa-bisanya kiamat tahun 2012? jikalaupun benar, kenapa takut? silakan direnungkan… I K H L A S Oleh: Si Pincang Category IBADAH, JATI DIRI 00 Safar 1432H 6 January 2011 14:17 Bismilallahir Rahmanir Rahiim Allah Swt berfirman : “Al-Ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-rahasia-Ku, yang telah Aku titipkan ke dalam hati orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku.” (Hadits Qudsi, Bihar al-Anwar 70 : 249) Menurut bahasa, kata ikhlash berasal dari akar kata : khalasha – yakhlushu – khulushan – khalashan, yang artinya : murni, atau tidak bercampur (dengan unsur lainnya). Dari akar kata ini banyak makna lainnya di antaranya : bersih, jernih, khusus, menyendiri, yang dipilih, sampai, lepas, bebas, terhindar, selamat, memisahkan, habis, mencintai, tulus, membalas, selesai, inti, sari, jalan keluar, penolong, dan jujur. 16] Keikhlasan adalah anugerah misterius yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berhati suci, dan selalu meningkatkan dan memperdalam iman serta penghambaannya. Di dalam irfan atau tasawwuf, ikhlas memiliki istilah tersendiri. Khwajah Abdullah al-Anshari qs mengatakan, ”Arti ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari segala ketidakmurnian” Dan ketidakmurnian di sini adalah ketidakmurnian umum, termasuk apa yang timbul dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dan makhluk lain.” I khlash juga berarti : membebaskan perbuatan dari selain Tuhan yang berperan dalam perbuatan tersebut, atau suatu motivasi perbuatan yang tidak menginginkan balasan dunia mau pun akhirat. 19] Penulis Gharaib al-Bayan menyebutkan bahwa : orang ikhlas itu adalah orang yang beribadah kepada Allah sedemikian rupa sehingga tidak memperhatikan kalau dirinya itu sedang beribadah, juga tidak memperhatikan dunia atau penghuninya, juga tidak melebihi batas-batas hamba dalam melihat Tuhan. Syaikh al-Muhaqqiq Muhyiddin Ibn al-‘Arabi mengatakan, ”Bagi Allah-lah kesetiaan yang tulus, yang bersih dari semua noda dan egoisme. Dan kamu harus sepenuhnya sirna (fana) dalam Dia agar Dia tersambung dengan esensi, perbuatan dan agamamu. Selama kesetiaan belum disucikan secara hakiki, kesetiaan itu bukanlah untuk Allah.” Ibadah orang-orang yang tulus merupakan jejak manifestasi (tajaliyyat) Sang Kekasih, dan yang senantiasa ada di hatinya hanyalah Zat Allah. Imam Ali as mengatakan, “Beruntunglah orang yang telah memurnikan (akhlash) penghambaan dan do’anya hanya kepada Allah dan hatinya tidak disibukkan oleh apa-apa yang dilihat matanya, dan ia tidak lupa dari berzikir kepada Allah karena apa-apa yang didengar telinganya, dan hatinya tidak sedih karena karunia yang diberikan kepada selain dirinya.” Rasulullah saw bersabda, “Semua orang yang berilmu itu (al-‘ulama) celaka kecuali yang beramal dan semua orang yang beramal itu celaka kecuali orang yang ikhlas dan orang ikhlas itu senantiasa dalam kekhawatiran.” Manusia tidak pernah aman dari kejahatan setan dan egonya sampai akhir hayatnya. Dia tidak boleh membayangkan bahwa setelah ia berbuat ikhlas semata-mata demi Allah tanpa adanya keinginan untuk menyenangkan makhluk, kemurniann perbuatannya akan selalu aman dari kejahatan godaan setan, lintasan-lintasan ego dan hawa nafsu. Jika ia tidak senantiasa waspada, niscaya suatu waktu ia akan tergelincir ke dalam bentuk riya atau ‘ujub yang sedemikian halus sehingga ia tidak menyadarinya. Sebentar saja manusia lalai, maka kendali egonya pun akan terlepas dan menyeretnya kepada perbuatan buruk dan tercela. “Sesungguhnya nafs (ego) manusia itu senantiasa mengajak kepada kejahatan, kecuali kalau Allah Swt mengasihi” (QS 12 : 53) HAKIKAT IKHLAS Rasulullah saw bersabda, ”Setiap kebenaran itu ada hakikatnya dan tidaklah seorang hamba dapat mencapai hakikat keikhlasan sampai ia merasa tidak suka dipuji atas amal (ibadah) yang ditujukannya kepada Allah.” Imam Ali as berkata, ”Barangsiapa yang tidak bertentangan apa yang ada dalam hatinya dengan apa yang ia nyatakan, dan tidak bertentangan pula perbuatan dan perkataannya, maka sungguh ia telah menunaikan amanah dan telah memurnikan (akhlas) penghambaannya.” Amal yang bernilai dalam pandangan Allah adalah amal yang dilakukan semata-mata untuk ‘menyenangkan’-Nya, betapa pun kecilnya amal itu. Amal sedikit yang dilakukan dengan ikhlas lebih disukai-Nya ketimbang banyak tetapi tidak ikhlas. Rasulullah saw bersabda, ”Ikhlas-kanlah hatimu, niscaya mencukupimu walau dengan sedikit amal.” Amal perbuatan merupakan gambaran yang tidak hidup, namun keikhlasan di dalamnya memberikan ruh kehidupan padanya. Secara lahiriah, shalat Ali bin Abi Thalib as tidak berbeda dengan shalat orang-orang munafik. Namun secara batini, shalat Ali bin Abi Thalib memiliki nilai spiritual tertinggi yang mampu mengangkat ruhnya terbang ke langit, bermi’raj menghadap Tuhan. Orang yang hatinya dibangkitkan oleh keikhlasan tidak peduli apakah orang lain akan mencela atau menyanjung amalnya atau tidak. Ia benar-benar tidak peduli bahkan apakah amal ibadahnya itu akan diberikan ganjaran atau tidak. Perhatian orang yang ikhlas tidak pernah berubah, baik ia berada dalam keadaan susah mau pun senang. Hatinya hanya tertuju kepada Sang Kekasih, tidak kepada yang lain. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan (mukhlishina) ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS 98 : 5) Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah. Namun ibadah yang dicelup dengan warna ikhlas. Orang yang memberikan tempat kedua bagi Tuhan dalam hatinya sebenarnya ia tidak memberikan tempat sama sekali bagi Tuhan. Jika amal dan keikhlasan kita umpamakan sebagai sepasang sayap, maka takkan mungkin kita dapat terbang tanpa sepasang sayap. Rumi mengatakan : Engkau mesti ikhlas dalam beramal, agar Tuhan Yang Maha Agung menerimanya. ikhlash adalah sayap amal ibadah, tanpa sayap, bagaimana engkau dapat terbang ke tempat bahagia?